Di dalam
masyarakat jawa, tanah merupakan sesuatu yang sangat penting. Konsep agraria
menyebutkan bahwa ketika seseorang menguasai suatu wilayah maka orang tersebut
bukan hanya berkuasa atas tanah tetapi juga segala sesuatu yang berada
diatasnya. Dalam konteks itu, raja sebagai penguasa suatu wilayah memiliki
hak-hak mutlak dalam penguasaan. Sehingga perlu dipahami bahwa raja tidak memiliki keuasaan multlak sebagai milik pribadi. Begitu pula yang terjadi pada raja-raja di Jawa. Raja memiliki
kekuasaan yang sangat besar atau “wenang
wisesa ing sanagari” (berwenang tertinggi di seluruh negeri) dan diakui
sebagai pemilik segala sesuatu. Kawula
atau rakyat hanya mengatakan nderek
ngarsa dalem (terserah kehendak raja). Pada periode kerajaan Mataram II
wilayah kerajaan dibagi menjadi tiga daerah yakni :
1. Negara (ibukota)
2. Nagaragung (daerah inti)
3. Mancanegara (pesisir) dan tanah sabrang
(tanah di seberang laut)
Menurut pandangan
Prof. Veth dan Dr. Selosoemarjan negara-negara Jawa direncanakan berdasarkan
pada lingkaran konsentris yakni titik pusat berada di istana sampai
daerah-daerah luar yang paling jauh letaknya. Pembagian wilayah kerajaan sangat
dipengaruhi oleh kekuasaan pusat dalam hal ini raja. Raja menjadi penentu dalam
pembagian wilayah-wilayah yang masuk ketiga daerah tersebut. Akibatnya,
batas-batas kewilayahan sebuah kerajaan tergantung dari besar-kecilnya kekuatan
atau pengaruh dari kekuasaan pusat (raja).
Di dalam
pemerintahan Mataram II, Raja mempunyai dua hak atas tanah. Pertama, hak politik atau hak publik
merupakan hak yang menetapkan luasnya yuridiksi teritorialnya. Hak ini hanya
menetapkan batas-batas daerah yang boleh diatur, daerah untuk menjalankan
keadilan dan daerah pertahanan dari serangan musuh. Kedua, hak raja yang langsung berkenaan dengan tanah. Hak itu ialah
hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat. Dasar dari hak ini terdapat
dalam adat kampun yang telah lama yakni paron.
Paron adalah bagi hasil tanah menjadi
setengah untuk orang menggarap tanah dan setengahnya lagi dipunyai oleh orang
yang memiliki hak untuk memetik hasil, hak yang diperoleh dari desa yang
memberikan kepada pemilik tanah sebenarnya, siti
dusun (tanah desa).
Sesuai
perkembangan zaman, hak raja atas tanah mengalami perkembangan tidak hanya
seperti pada adat diatas. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang perkembangan itu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Prof. Van
Vollenhoven, orang dapat mengatakan tanpa ragu-ragu bahwa raja tidak memiliki
tanah dalam pengertian pribadi melainkan hanya mempunyai hak atas sebagian dari
hasil tanah yang dapat ia serahkan penggolahannya kepada pemberi modal atau
pengontrak. Penyebab terjadi demikian karena sewenang-wenangnya raja memiliki
hak, rakyat tetap mempunyai bagian tanah dengan prosentase yang lebih
tinggi yakni sebesar 50% atau 40% (menurut
Rouffaer).
Meskipun
dalam pembagian tanah rakyat memiliki jatah yang lebih besar, raja memiliki
kekuasaan penuh sehingga dalam praktiknya yang terjadi tidak demikian. Disamping
itu raja juga melakukan penarikan jumlah tertentu untuk kepentingan pribadi.
Penarikan ini diperoleh dari hak yang diberikan kepada rakyat dengan bentuk pajeg (pajak). Dalam melakukan pembagian
pendapatan dari tanah pejabatnya. Di mancanegara
dengan para kepala daerah (bupati) beserta bawahannya yakni kepala distrik dan
kepala desa. Sedangkan di daerah ini inti atau nagaragung dengan para pemegang lungguh
beserta para bekelnya (pembantu dan
wakil pemegang lungguh dalam desa).
Terdapat dua
jenis tanah penguasaan yang tidak dikenakan jenis pajak yang sama, yakni narawita (daerah kuasa raja) atau tanah perdikan. Tanah narawita berada langsung dibawah kepengurusan raja melalui wedana miji (istilah miji
mengacu pada tugas dan kedudukan yang khusus). Pada dasarnya tanah ini tidak
bebas pajak akan tetapi seluruhnya digunakan untuk keperluan rumah tangga raja.
Sehingga tanah ini harus menyediakan berbagai barang dagangan, misalnya padi,
minyak, bunga dan daun sirih. Demikian pula yang dilakukan para kepala daerah
luar (bupati) mereka mencadangkan sebagian tanah kekuasaanya untuk pemakaian
pribadi.
Dalam
bukunya Suhartono apanage dan bekel, tanah narawita
merupakan tanah yang keseluruhan hasilnya dipergunakan untuk keperluan raja.
Tanah ini terdiri dari bumi pamajegan (tanah
yang digunakan untuk menghasilkan uang dari pajak), bumi pangrembe (tanah yang ditanami padi dan tanaman lainnya untuk
keperluan kerajaan), dan tanah gladhag
(tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi seperti saat pesta
perkawinan, kelahiran, dan lain sebagainya). Tanah narawita di dalam proses penggerjaannya diserahkan kepada bekel yakni seorang wakil lungguh yang bertugas memungut pajak
dari petani-petani di desa dan mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan
tanah dan tenaga kerja. Sistem pembagiannya tanahnya ialah 2/5
untuk lungguh, 2/5
untuk sikep, dan 1/5
untuk bekel.
Mengenai hak
atas tanah yang diberikan raja atau penguasa kepada pegawainya sebagai upah
jabatan atau pembiayaan atas tugas mereka, Soemarsaid Moertono membedakan
antara tanah lungguh (apanage) dan bengkok atau catu (tanah
untuk gaji). Van Vollenhoven mendefinisikan lungguh
sebagai daerah yang telah diserahkan dan yang menerima peyerahan mempunyai hak
atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk. Dengan demikian pejabat yang
diberikan tanah lungguh mempunyai hak untuk menguasai tanah beserta orang-orang
diatas tanah tersebut. Raja tidak mempunyai hak milik atas tanah, tetapi raja
dapat mengambil keuntungan-keuntungan berupa pajak, jasa-jasa dan penghasilan
dari daerah tersebut. Biasanya tanah apanage
berada di negaragung yang wilayahnya
subur.
Sedangkan tanah bengkok atau gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian tanah
raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seseorang yang
disenangi. Tanah itu dikerjakan dengan cara kerja
rodi untuk kepentingan orang yang diberi hadiah. Dari definisi yang
dikemukakan Van Vollenhoven mengenai tanah bengkok
atau tanah gaji, tanah ini merupakan pecahan dari tanah apanage. Hal ini bermaksud bahwa pada mulanya hanya ada tanah apanage, namun dalam perkembangannya
muncul tanah bengkok sebagai hadiah
kepada orang-orang yang disenangi raja. Pemberian hadiah berupa tanah ini
dilakukan bukan karena jabatan atau pangkat. Biasanya tanah bengkok atau tanah gaji berada di mancanegara yang tanahnya relatif tidak
subur.
Disamping tanah lungguh dan tanah bengkok,
raja memiliki wilayah untuk pajak sendiri yakni siti pamajegan dalem. Wilayah ini digunakan untuk mengumpulkan
pajak dan jasa-jasa tenaga kerja untuk kepentingan raja. Para Lungguh memiliki hak-hak atas
wilayahnya, termasuk didalamnya mengangkat seorang bekel sebagai wakilnya untuk memungut pajak. Sedangkan bekel sendiri juga mempunyai semacam lungguh kecil oleh para tuannya.
Kesimpulan dari uraian diatas bahwa hak-hak raja atas tanah sangat dipengaruhi
oleh kekuasaan raja yang begitu multlak. Sehingga seolah-olah raja memiliki
segalanya dari kewilayahan tanah bahkan orang-orang diatasnya.
Referensi :
Moetono,
Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha
Bina-Negara di Jawa Masa Lampau : Studi tentang masa Mataram II, Abad XVI
sampai XIX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Suhartono.
1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920).
Yogyakarta: Tiara Wacana