Senin, 02 Desember 2013

Hak-hak Raja Atas Tanah di Jawa Pada Masa Kerajaan Mataram II

Di dalam masyarakat jawa, tanah merupakan sesuatu yang sangat penting. Konsep agraria menyebutkan bahwa ketika seseorang menguasai suatu wilayah maka orang tersebut bukan hanya berkuasa atas tanah tetapi juga segala sesuatu yang berada diatasnya. Dalam konteks itu, raja sebagai penguasa suatu wilayah memiliki hak-hak mutlak dalam penguasaan. Sehingga perlu dipahami bahwa raja tidak memiliki keuasaan multlak sebagai milik pribadi. Begitu pula yang terjadi pada raja-raja di Jawa. Raja memiliki kekuasaan yang sangat besar atau “wenang wisesa ing sanagari” (berwenang tertinggi di seluruh negeri) dan diakui sebagai pemilik segala sesuatu. Kawula atau rakyat hanya mengatakan nderek ngarsa dalem (terserah kehendak raja). Pada periode kerajaan Mataram II wilayah kerajaan dibagi menjadi tiga daerah yakni :
1.      Negara (ibukota)
2.      Nagaragung (daerah inti)
3.      Mancanegara (pesisir) dan tanah sabrang (tanah di seberang laut)
Menurut pandangan Prof. Veth dan Dr. Selosoemarjan negara-negara Jawa direncanakan berdasarkan pada lingkaran konsentris yakni titik pusat berada di istana sampai daerah-daerah luar yang paling jauh letaknya. Pembagian wilayah kerajaan sangat dipengaruhi oleh kekuasaan pusat dalam hal ini raja. Raja menjadi penentu dalam pembagian wilayah-wilayah yang masuk ketiga daerah tersebut. Akibatnya, batas-batas kewilayahan sebuah kerajaan tergantung dari besar-kecilnya kekuatan atau pengaruh dari kekuasaan pusat (raja).
Di dalam pemerintahan Mataram II, Raja mempunyai dua hak atas tanah. Pertama, hak politik atau hak publik merupakan hak yang menetapkan luasnya yuridiksi teritorialnya. Hak ini hanya menetapkan batas-batas daerah yang boleh diatur, daerah untuk menjalankan keadilan dan daerah pertahanan dari serangan musuh. Kedua, hak raja yang langsung berkenaan dengan tanah. Hak itu ialah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat. Dasar dari hak ini terdapat dalam adat kampun yang telah lama yakni paron. Paron adalah bagi hasil tanah menjadi setengah untuk orang menggarap tanah dan setengahnya lagi dipunyai oleh orang yang memiliki hak untuk memetik hasil, hak yang diperoleh dari desa yang memberikan kepada pemilik tanah sebenarnya, siti dusun (tanah desa).
Sesuai perkembangan zaman, hak raja atas tanah mengalami perkembangan tidak hanya seperti pada adat diatas. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perkembangan itu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Prof. Van Vollenhoven, orang dapat mengatakan tanpa ragu-ragu bahwa raja tidak memiliki tanah dalam pengertian pribadi melainkan hanya mempunyai hak atas sebagian dari hasil tanah yang dapat ia serahkan penggolahannya kepada pemberi modal atau pengontrak. Penyebab terjadi demikian karena sewenang-wenangnya raja memiliki hak, rakyat tetap mempunyai bagian tanah dengan prosentase yang lebih tinggi  yakni sebesar 50% atau 40% (menurut Rouffaer).
Meskipun dalam pembagian tanah rakyat memiliki jatah yang lebih besar, raja memiliki kekuasaan penuh sehingga dalam praktiknya yang terjadi tidak demikian. Disamping itu raja juga melakukan penarikan jumlah tertentu untuk kepentingan pribadi. Penarikan ini diperoleh dari hak yang diberikan kepada rakyat dengan bentuk pajeg (pajak). Dalam melakukan pembagian pendapatan dari tanah pejabatnya. Di mancanegara dengan para kepala daerah (bupati) beserta bawahannya yakni kepala distrik dan kepala desa. Sedangkan di daerah ini inti atau nagaragung dengan para pemegang lungguh beserta para bekelnya (pembantu dan wakil pemegang lungguh dalam desa).
Terdapat dua jenis tanah penguasaan yang tidak dikenakan jenis pajak yang sama, yakni narawita (daerah kuasa raja) atau tanah perdikan. Tanah narawita berada langsung dibawah kepengurusan raja melalui wedana miji (istilah miji mengacu pada tugas dan kedudukan yang khusus). Pada dasarnya tanah ini tidak bebas pajak akan tetapi seluruhnya digunakan untuk keperluan rumah tangga raja. Sehingga tanah ini harus menyediakan berbagai barang dagangan, misalnya padi, minyak, bunga dan daun sirih. Demikian pula yang dilakukan para kepala daerah luar (bupati) mereka mencadangkan sebagian tanah kekuasaanya untuk pemakaian pribadi.
Dalam bukunya Suhartono apanage dan bekel,  tanah narawita merupakan tanah yang keseluruhan hasilnya dipergunakan untuk keperluan raja. Tanah ini terdiri dari bumi pamajegan (tanah yang digunakan untuk menghasilkan uang dari pajak), bumi pangrembe (tanah yang ditanami padi dan tanaman lainnya untuk keperluan kerajaan), dan tanah gladhag (tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi seperti saat pesta perkawinan, kelahiran, dan lain sebagainya). Tanah narawita di dalam proses penggerjaannya diserahkan kepada bekel yakni seorang wakil lungguh yang bertugas memungut pajak dari petani-petani di desa dan mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan tanah dan tenaga kerja. Sistem pembagiannya tanahnya ialah 2/5 untuk lungguh, 2/5 untuk sikep, dan 1/5 untuk bekel.
Mengenai hak atas tanah yang diberikan raja atau penguasa kepada pegawainya sebagai upah jabatan atau pembiayaan atas tugas mereka, Soemarsaid Moertono membedakan antara tanah lungguh (apanage) dan bengkok atau catu (tanah untuk gaji). Van Vollenhoven mendefinisikan lungguh sebagai daerah yang telah diserahkan dan yang menerima peyerahan mempunyai hak atas keuntungan dari tanah itu dan dari penduduk. Dengan demikian pejabat yang diberikan tanah lungguh mempunyai hak untuk menguasai tanah beserta orang-orang diatas tanah tersebut. Raja tidak mempunyai hak milik atas tanah, tetapi raja dapat mengambil keuntungan-keuntungan berupa pajak, jasa-jasa dan penghasilan dari daerah tersebut. Biasanya tanah apanage berada di negaragung yang wilayahnya subur.
            Sedangkan tanah bengkok atau gaji adalah sebidang tanah garapan dari sebagian tanah raja yang diserahkan kepada seorang pejabat, keluarga atau seseorang yang disenangi. Tanah itu dikerjakan dengan cara kerja rodi untuk kepentingan orang yang diberi hadiah. Dari definisi yang dikemukakan Van Vollenhoven mengenai tanah bengkok atau tanah gaji, tanah ini merupakan pecahan dari tanah apanage. Hal ini bermaksud bahwa pada mulanya hanya ada tanah apanage, namun dalam perkembangannya muncul tanah bengkok sebagai hadiah kepada orang-orang yang disenangi raja. Pemberian hadiah berupa tanah ini dilakukan bukan karena jabatan atau pangkat. Biasanya tanah bengkok atau tanah gaji berada di mancanegara yang tanahnya relatif tidak subur.
            Disamping tanah lungguh dan tanah bengkok, raja memiliki wilayah untuk pajak sendiri yakni siti pamajegan dalem. Wilayah ini digunakan untuk mengumpulkan pajak dan jasa-jasa tenaga kerja untuk kepentingan raja. Para Lungguh memiliki hak-hak atas wilayahnya, termasuk didalamnya mengangkat seorang bekel sebagai wakilnya untuk memungut pajak. Sedangkan bekel sendiri juga mempunyai semacam lungguh kecil oleh para tuannya. Kesimpulan dari uraian diatas bahwa hak-hak raja atas tanah sangat dipengaruhi oleh kekuasaan raja yang begitu multlak. Sehingga seolah-olah raja memiliki segalanya dari kewilayahan tanah bahkan orang-orang diatasnya.


Referensi :
Moetono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau : Studi tentang masa Mataram II, Abad XVI sampai XIX. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia


Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta (1830-1920). Yogyakarta: Tiara Wacana