Rabu, 22 Januari 2014

Gejala Akut Civitas Kampus yang Apatis dan Pragmatis

Kemarin saya mengikuti diskusi mahasiswa dan perguruan tinggi di daerah belakang kampus. Diskusi itu mengangkat tema tentang realitas civitas kampus di era sekarang. Perilaku pragmatis dan apatis yang menjalar civitas kampus tak kecuali mahasiswa, menjadi bahan diskusi yang sangat menarik. Berbagai pertanyaan muncul tentang peyebab, dampak dan lain-lain yang terjadi dari perilaku pragmatis dan apatis. Tentu banyak hal-hal yang saya dapatkan dari diskusi itu. Berikut ini hanyalah sedikit catatanya.
Berangkat dari istilah universitas, universitas berasal dari kata Universe yang berarti seluruh bidang. Universe dapat dipahami bahwa universitas merupakan lembaga yang di dalamnya terdapat banyak displin ilmu. Berbagai disiplin ilmu itu secara keseluruhan digunakan sebagai kemaslahatan manusia. Secara universal sebuah perguruan tinggi memiliki civitas kampus yang terdiri dari birokrat kampus (rektor dan sebagainya), dosen dan mahasiswa, kesemuanya merupakan bagian dari universitas.
Universitas sebagai lembaga yang memproduksi orang-orang dari berbagai latar belakang disiplin ilmu memiliki peran besar dalam pembangunan. Tri Dharma perguruan tinggi mencakup tiga aspek yakni pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Secara filosofis ketiga aspek tersebut menjadi dasar pijakan universitas dalam melakukan pembangunan. Masing-masing merupakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan civitas kampus sebagai masyarakat akademik universitas.
Realiatas hari ini, tidak sedikit masyarakat kampus yang tidak sadar akan peran dan fungsinya sebagai aktor pembangunan. Barangkali masih sebatas tahu, belum sadar apalagi bertindak yang tentu hal ini menjadi permasalahan. Telah terjangkitnya perilaku apatis dan pragmatis menjadi faktor penyebab ketidaksadaran itu. Sebagai contoh misalnya dosen hanya sebatas melakukan pengajaran, mahasiswa hanya sebatas kuliah. Bukan berarti hal tersebut salah akan tetapi keseimbangan sosial juga harus diperhatikan. Kondisi sosial masyarakat harus dilihat secara sadar untuk dapat melakukan pembangunan.
Dalam proses pembangunan, pendidikan ialah hal yang berpengaruh sangat besar. Berbicara dari sudut pandang historis pendidikan di Indonesia ialah pendidikan yang dibangun pemerintah kolonial. Pada abad 19 seorang warga Belanda bernama Van Deventer melakukan kritik atas pemerintahan di Hindia Belanda yang telah mengambil sumber daya alam dan melakukan penindasan yang berakibat menderitanya masyarakat Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial harus melakuan balas budi terhadap masyarakat pribumi yang sangat menderita akibat eksploitasi secara besar-besaran.
Menanggapi kitik yang dilontarkan Van Deventer, pemerintah kolonial memiliki inisiasi dengan mengeluarkan kebijakan politik etis atau politik balas budi. Kebijakan kolonial kolonial itu salah satunya ialah di bidang pendidikan. Pemerintah kolonial memberikan akses terhadap masyarakat pribumi untuk mengenyam pendidikan. Sekolah-sekolah mulai dibuka untuk kaum pribumi bahkan orang pribumi dapat melanjutkan studinya sampai jenjang pendidikan tinggi di negeri Belanda.
Namun, kebijakan politik kolonial yang kelihatan manis itu ternyata memiliki maksud lain. Orang-orang pribumi yang dapat bersekolah pada waktu itu berasal dari golongan bangsawan. Selain itu desain orang yang telah mengenyam pendidikan, mereka akan digunakan untuk menjadi tenaga-tenaga administratif pemerintah kolonial. Mereka dipekerjakan dengan pertimbangan kalau pemerintah kolonial harus mendatangkan para pekerja dari Belanda berarti akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk gaji apalagi pekerja tersebut telah mempunyai keluarga, pemerintah kolonial juga harus menanggungnya. Maka dari itu pemerintah kolonial dengan politik etisnya mendapatkan pekerja-pekerja murah dari masyarakat pribumi.
Itulah sistem pendidikan yang terjadi dua abad lalu di Indonesia. Pendidikan yang seharusnya menjadikan manusia lebih merdeka dan sadar, akan tetapi justru membuat manusia menjadi benda tak hidup seperti layaknya sebuah robot. Beralih ke sistem pendidikan Indonesia di era saat ini. Tidak sedikit mahasiswa mengenyam pendidikan hanya sebatas menyelesaikan jenjang pendidikan. Setelah itu lulus lalu melamar pekerjaan untuk meningkatkan kuantitas ekonominya. Keberhasilan pendidikan yang ditempuhnya hanya dinikmati sendiri. Dengan demikian apa bedanya pendidikan abad 19 dengan pendidikan abad 21? Bukankah sama-sama mencetak robot?
Pendidikan ialah mencerahkan, membebaskan dari kebodohan dan memerdekaan orang untuk hidup sempurna. Sikap kritis dan kepekaan terhadap lingkungan sosial menjadi salah satu indikator keberhasilan sebuah pendidikan. Manusia akan terus terbelakang apabila tidak kritis, secara sosial manusia tidak akan berkembang apabila tidak memiliki kepekaan. Apalagi sebagai manusia yang berpendidikan, keilmuan yang dimiliki harus dipertanggung jawabkan dengan cara mengimplementasikannya.
Civitas kampus yang apatis dan pragmatis dibentuk dari sistem pendidikan yang keliru. Pemahaman saya mengenai apatis ialah suatu sikap acuh atau masa bodoh, sedang pragmatis ialah suatu sikap yang hanya mengutamahan nilai kepraktisan. Dari dua pemahaman tersebut saya berpendapat bahwa sikap apatis dan pragmatis itu ialah sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh civitas kampus. Apatis misalnya, civitas kampus termasuk didalamnya mahasiswa yang secara ideal diidentifikasikan sebagai aktor intelektual dalam melakukan perubahan, ketika bersikap acuh maka yang terjadi ialah pembiaran terhadap kerusakan. Sehingga peran dan tanggungjawabnya tidak dipenuhi.
Pragmatis, suatu sikap yang orientasinya hanya “cari enaknya saja” hal itu akan menuntut segala sesuatu yang dilakukan menjadi instan (siap saji) dan terkadang dilakukan tidak sesuai dengan seharusnya. Sebenarnya “nilai praktis” bukan suatu nilai yang salah. Namun ketika kepraktisan menjadi orientasi maka yang terjadi ialah hasil lebih penting dibanding dengan proses. Teori menghalalkan berbagai cara akan dipakai. Itulah yang kemudian sikap pragmatis itu menjadi sikap yang berlawanan dengan idealisme yang harus dimiliki oleh civitas kampus.
Fenomena dimana dosen hanya sibuk dengan proyek, mahasiswa hanya sibuk dengan tugas kuliah dan IPK cumlaude tanpa ada keseimbangan sosial maka hal itu menjadi salah satu gejala akut civitas kampus yang apatis dan pragmatis. Memang fenomena ini timbul bukan secara tiba-tiba. Ibarat pepatah, gak ada asap kalau gak ada api, apatis dan pragmatis pasti ada penyebabnya. Penyebab utamanya ialah tidak adanya kesadaran dan kepekaan sosial. Absentnya dua hal ini berkat sistem pendidikan yang tidak memerdekaan, artinya tidak membebaskan dari belenggu kebodohan.

Sikap apatis dan pragmatis yang terus menjalar dikehidupan kampus akan membuat kampus kehilangan ruhnya. Civitas kampus di universitas seharusnya dicetak menjadi orang-orang yang memiliki kesadaran tentang peran, tanggungjawabnya baik secara keilmuaan maupun sosial masyarakat. Dengan demikian apabila universitas bisa membangun kesadaran itu maka akan tercipta kemaslahatan suatu bangsa.

Gerakan Reformasi 1998 di Solo

Tulisan ini merupakan hasil dari analisis yang penulis lakukan terhadap sumber lisan yaitu dengan wawancara dan sumber tulisan dari surat kabar sejaman. Dengan memadukan sumber lisan dan tulisan harapannya menambah kualitas dari tulisan yang dihasilkan. Penulis tetap mengambil tema reformasi 1998 dengan mengambil daerah Solo sebagai pusat pergerakan atau titik awal pergerakan reformasi secara nasional. Di samping itu tokoh yang penulis angkat tetap pada mahasiswa sebagai aktor intelektual dari reformasi 1998. Hal itu dikarenakan antara reformasi 1998 dengan mahasiswa adalah satu paket. Tulisan ini juga menguraikan tentang kerusuhan yang timbul bukan akibat dari gerakan mahasiswa.
Reformasi 1998 di Indonesia menjadi babak baru terselenggaranya sistem demokrasi yang lebih mapan. Pertumpahan darah oleh rakyat, para aktivis dan penjuang demokrasi dibayar dengan keterbukaan, kebebasan, demokrasi yang lebih mengedapankan keadilan. Kita masih belum lupa akan kenangan-kenangan pahit era orde baru tentang belenggu keotoriterian Soeharto. Tidak bermaksud mengenyampingkan peran para pejuang lain yang menggulirkan reformasi 1998, mahasiswa ialah kaum yang memiliki peranan vital dalam terwujudnya perubahan besar dari sistem yang telah ada. Mahasiswa yang sedang mengalami pertumbuhan secara intelaktual merupakan sosok yang ideal, belum terkontaminasi oleh politik praktis yang hanya mengejar kekuasaan belaka.
Sebenarnya gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa dimulai sejak tahun 1997 dimana mahasiswa merespon terhadap kebijakan pemerintah yang akan bekerjasama dengan IMF dan krisis ekonomi. Inflasi yang terjadi pada waktu itu hampir mencapai 700%. Tetapi demonstrasi yang dilakukan tidak terlalu masiv. Baru mulai permulaan tahun 1998 demo-demo mulai dilakukan hanya saja menurut Taufik, hal itu hanya lah letupan-letupan kecil saja.
Pada Bulan Maret 1998, telah terjadi peristiwa politik yaitu pengangkatan Soeharto sebagai presiden periode 1998-2003. Ketua MPR Harmoko pada waktu itu memimpin sidang umum MPR yang dihadiri oleh 923 anggota Majelis. Harmoko mengemukakan bahwa Soeharto disahkan secara mufakat bulat menjadi presiden RI dengan masa jabatan 1998-2003. Hal itu bearti bahwa Soeharto menjadi presiden RI yang ketujuhkalinya setelah Soekarno. Sontak semua anggota MPR bertepuk tangan ketika ditetapkannya Soeharto menjadi presidenn RI kembali.
Artikel Solo Pos, 11 Maret 1998 dengan judul MPR angkat Pak Harto lagi, disana digambarkan betapa sanak keluarga sangat bahagia. Salah satunya ialah putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab dipanggil Mbak Tutut. Dia sangat berterimakasih kepada bangsa Indonesia yang telah memberikan kepercayaanya kepada ayahnya Soeharto. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan respon yang diberikan dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa kecewa terhadap penetapan Soeharto sebagai presiden. Bagi mahasiswa, soeharto tidak sanggup untuk memulihkan perekonomian yang telah hancur akibat krisis moneter.
Mulai itulah isue-isue yang menyangkut presiden dihembuskan. Meskipun pada awalnya isue yang diangkat hanya sebatas respon terhadap krisis moneter. Menuju bulan Mei isue penurunan Soeharto semakin kuat. Hal itu dikarenakan pada waktu itu masih berlakunya kebijakan NKK/BKK dimana aktivitas politik mahasiswa dilarang. Demonstrasi-demonstrasi dilakukan pembatasan. Maka ketika terjadi demonstrasi besar maka yang dilakukan oleh pemerintah melalui aparat keamanannya ialah bersikap represif. Hal tersebut yang memicu terhembusnya isue penurunan Soeharto. Mahasiswa menganggap harus ada keterbukaan dan demokrasi dalam menjalankan pemerintaan. Segala bentuk keotoriterian ditolak.
Pada 1998, Solo secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi besar dalam pergerakan Reformasi 1998 di Indonesia. Menurut Taufik, salah seorang aktivis 98 pada waktu itu Solo dimotori oleh mahasiswa UNS dan Lampung oleh mahasiswa UNILA merupakan gerakan lokal yang berhasil mengangkat isue perubahan itu menjadi isue nasional. Keberhasilan itu tidak lepas dari upaya mahasiswa yang mendapat tentangan dari pemerintah orde baru saat itu. Dengan aparat keamanannya yaitu TNI dan Polri, pemerintahan orde baru melakukan kekerasan yang berujung pada bentrok antara mahasiswa dan polisi.
Artikel Solo Pos pada 21 April 1998 memberikan informasi bahwa sebetulnya bentrok bukan target dari demonstrasi. Menanggapi peristiwa bentrok yang terjadi di UNS pada waktu itu, dua orang aktivis SMPR (Solidaritas Masyarakat Peduli Rakyat) Eko Rajito dan Ulin Niam Yusron mengatakan bahwa bentrokan lebih disebabkan oleh ultimatum yang disampaikan aparat keamanan. Ultimatum tersebut memicu kemarahan dari para demonstran yang telah kecewa dengan pemerintahan Indonesia. Aparat keamanan sering menyalahgunakan senjata untuk menakut-nakuti bahkan sebagai ancaman kepada para demonstran.
Pada waktu itu mahasiswa UNS melakukan aksi demonstrasi untuk menyikapi krisis ekonomi yang tidak kunjung diatasi oleh pemerintah. Sehingga mahasiswa melakukan aksi turun jalan sebagai bentuk protes terhadap lambannya penanganan krisis ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Menurut aktivis SMPR Ulin, jika terjadi bentrokan hal itu bukan target mereka. Justru dia beranggapan bahwa bentrok bersifat kontraproduktif. Artinya masyarakat tidak tertuju pada isue yang dibawa mahasiswa tetapi justru kabur dengan adanya bentrokan tersebut. Sehingga masyarakat melihat sebelah mata tentang aksi yang mahasiswa lakukan.
Hal tersebut senada yang disampaikan oleh Taufik, salah seorang aktivis HMI yang mengatakan bahwa bentrokan terjadi akibat kondisi keostik. Mulai Bulan April ketika terjadi domonstrasi aparat keamanan pasti membawa senjata pengamanan entah itu fiber atau yang lain. Dan juga tangki-tangki yang menyimpan gas air mata dipersiapkan. Hal tersebut dipersiapkan yang seolah-olah aparat keamanan akan menghadapi musuh. Padahal antara mahasiswa dan aparat keamanan itu sebangsa. Kesan negatif yang sering disampaikan para demonstran wajar, terbukti setiap terjadi demonstrasi aparat keamanan menyemprotkan gas air mata kepada para demonstran.
Di UNS sendiri mahasiswa melakukan aksi demonstrasi yang terpusat di depan kampus tepatnya di bullevard. Tempat itu menjadi saksi sejarah bagaimana perjuangan mahasiswa mewujudkan reformasi. Pada waktu itu hampir setiap sore kondisinya mencekam. Kerena hampir setiap hari mahasiswa melakukan demostrasi dan hampir setiap demonstrasi berujung pada keostik. Bentrok yang terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan, bahkan jam 10 pagi biasanya mobil ambulans sudah wira-wiri membawa para korban bentrok.  Pada waktu itu kondisinya sudah tidak kondusif. Bahkan digambarkan oleh saksi mata, sampai-sampai paving-paving berterbangan.
 Dari artikel yang termuat di Solo Pos, 13 Mei 1998 yang berjudul Luka cukup parah Juanda ngaku tidak kapok. Didapatkan informasi bahwa bentrok yang terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan memang sangat luar biasa. Surat kabar tersebut menampilkan salah seorang mahasiswa korban bentrok yakni bernama Juanda. Juanda merupakan aktivis SMPR yang menjadi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan yang mengakibatkan Juanda bonyok-bonyok dimukanya. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 9 Mei 1998 yang merupakan Jum’at berdarah yang terjadi di depan kampus UNS.
Akibat dari peristiwa Jum’at berdarah itu Juanda yang merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UNS itu terpakasa diamankan oleh beberapa aktivis  SMPR untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Bahkan Juanda diamankan di luar Solo. Hal tersebut menandakan bahwa suasana Solo pada waktu itu memang sangat mencekam apalagi bagi aktivis yang memperjuangkan tuntutan reformasi. Aktivis seolah-olah menjadi musuh negara yang harus dibasmi. Juanda misalnya dia tercatat sebagai aktivis SMPR yang hampir 2 bulan melakukan aksi keperihatinan.
Reformasi 1998 dan aksi keprihatinan yang dilakukan mahasiswa pada waktu itu membawa suatu keprihatinan juga oleh masyarakat. Dari artikel tersebut diceritakan bahwa Juanda yang menderita memar dan terdapat jahitan dikepalanya bahkan mengaku tidak kapok. Disini dapat dilihat betapa perjuangan mahasiswa pada waktu itu sangat besar dengan resiko yang sangat besar pula. Tetapi masyarakat juga memiliki keperdulian misalnya beberapa warga Perumnas Palur, ibu-ibu Kampung Pucang Sawit pun menjenguk para korban bentrok. Hal itu menandakan bahwa masyarakat juga memiliki kesadaran dan keprihatinan sama dengan mahasiswa.
Bentrokan terus terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Di Solo sendiri berdiri beberapa lembaga advokasi yang bertujuan memberikan perlindungan kepada korban tindak aksi kekerasan. Setidaknya pada waktu itu ada dua lembaga advokasi yakni, Lembaga Bantuan Hukum dan Pengembangan Masyarakat (LBHPM) Nurani, dan Posko Advokasi Reformasi Solo. Mereka berdiri atas dasar keperdulian dan pro-reformasi. Mereka juga mengatakan bahwa aksimasa yang dilakuakan merupakan wujud dari keprihatianan. Sedang cara-cara represif yang dilakukan aparat justru menambah jumlah korban dan pelanggaran HAM.
Dilain pihak artikel di Solo Pos, 13 Mei 1998 menyebutkan mahasiswa Solo dan Jogja, 2 perguruan tinggi yakni UNS dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta melapor ke Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melaporkan peristiwa yang terjadi di UNS dan di Gejayan Yogyakarta dimana kekerasan yang dilakukan oleh aparat bukan hanya ditujukan kepada mahasiswa melainkan masyarakat umum juga terkena kekerasan itu. Bahkan di Yogyakarta dari laporan yang disampaikan satu orang warga sipil meninggal dunia akibat kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Taufik bahwa kondisi keostik mulai terjadi di akhir bulan April dan awal Mei. Setiap melakukan demonstrasi pasti berujung pada bentrokan. Terjadinya kerusuhan-kerusuhan di Solo dari hasil wawancara dan sumber tertulis yang dianalisis oleh penulis, sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Hanya saja kerusuhan yang terjadi mengambil momentum sama dengan aksi yang dilakukan mahasiswa. Terdapat pihak yang sengaja memanfaatkan momentum itu sebagai pengacau gerakan mahasiswa.
Seperti yang disampaikan oleh dua narasumber saya yakni Taufik Al Makmun dan Umi Yulianti, mereka adalah aktivis mahasiswa 98 yang memastikan bahwa kerusuhan yang terjadi bukan dari mahasiswa. Karena pada waktu itu mahasiswa sedang concern dengan isue yang mereka bawa. Kalau menurut pendapat Taufik, apabila terjadi penunggangan aksi hal itu wajar dikarenakan pada waktu itu kondisinya memang keostik. Hampir semua orang bisa menjadi peserta demonstrasi. Peserta demonstrasi bukan hanya mahasiswa tetapi masyarakat umum juga.
Disamping itu ada hal yang memperkuat argumentasi tersebut. Pada waktu itu peristiwa kerusuhan terjadi di daerah Gladag dekat Pasar Gedhe. Dan juga terjadi di jalan Slamet Riyadi. Padahal gerakan mahasiswa masih terpusat di kampus-kampus baru mendekati pertengahan bulan Mei menjelang Soeharto mundur aksi-aksi yang dilakukan mulai keluar dari kampus. Dengan demikian apabila dikatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Solo akibat dari gerakan mahasiswa, hal itu tentu berlawanan dengan yang dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. Baik secara kronologi waktu maupun tempat yang bertolak belakang.
Artikel yang dimuat Solo Pos pada 18 Mei 1998 mengatakan sejumlah organisasi bahkan mengecam perusuh dan tetap akan melakukan aksi keprihatian. Salah satu organisasi yang mengecam pelaku perusuhan itu ialah SMPR (Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat) UNS. Mereka mengatakan ada pihak yang menumpang lewat  dari aksi keprihatinan yang dilakukan mahasiswa. Bahkan salah satu presidium SMPR, Ulin Ni’am meyakinkan bahwa kerusuhan bukan berasal dari mahasiswa. SMPR akan tetap mengadakan aksi menuntut reformasi dan tidak terpengaruh oleh kerusuhan yang terjadi di Solo pada waktu itu.
Selain dari SMPR sejumlah organisasi juga melayangkan kecaman kepada perusuh. Organisasi itu diantaranya, Forum Hati Nurani (Fortini) Mahasiswa dan Dokter Muda (ko-ass) fakultas kedokteran UNS, Komite Independen STIE Surakarta, Forum Komunikasi antar Daerah (Forkomanda) Pelajar Islam Indonesia (PII) Jateng Zona Selatan, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Pemuda Pancasila (PP) dan Angkatan Muda Muslimin Surakarta (AMMS) serta sejumlah organisasi lain.
Organisasi itu pada umumnya mengercam aksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang melakukan pembakaran, perusakan dan penjarahan fasilitas umum. Mereka menganggap bahwa kerusuhan yang dilakukan itu merupakan tindakan tidak pro-reformasi. Hanya saja para organisasi tersebut juga mengecam aparat kemanan yang bersikap represif kepada demonstran. Disamping itu ada semacam tuntutan atau seruan kepada semua elemen bangsa untuk bersama-sama memperjuangkan reformasi di segala bidang kehidupan baik sosial, ekonomi, politik dan hukum. Masyarakat harus bersama-sama mendorong pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan demokratis.
Menurut SMPR di artikel yang sama mereka mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi timbul karena kemarahan rakyat. Sembilan presidium SMPR yakni Ulin, Kelik, Dwi Nugraheni, Hamim Irfan, Restu Hapsari, Aminuddin, Ibnu Kristiawan, Imron TR, dan Lukman Yudi mengatakan bahwa tuntutan reformasi yang dilakukan oleh rakyat kepada pemerintah, namun pemerintah melalui aparat keamanannya menghalau dengan senjata itulah yang sebenarnya menyebabkan terjadinya kerusuhan-kerusuhan tersebut. Kerusuhan itu bukan hanya terjadi di Solo saja melainkan juga terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung. Organisasi-organisasi tersebut menghimbau agar civitas pendidikan tidak terprovokasi.
Kerusuhan yang terjadi di Solo harus dilihat dan dimaknai secara seksama dan dengan kepala dingin. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa merupakan aksi untuk menuntut adanya perubahan yakni reformasi. Apabila terjadi kerusuhan, menurut SMPR harus diklasifikasikan menjadi tiga yakni, pertama kerusuhan yang terjadi selama aksi berlangsung, artinya bentrokan yang terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Kedua, ketika mahasiswa disemprot gas air mata oleh aparat keamanan sedang mahasiswa tidak mampu membalas, hal tersebut juga berpotensi menimbulkan kerusuhan. Dan yang ketiga, ialah kerusuhan akibat pihak yang “numpang” momentum.
Ketiga klasifikasi penyebab kerusuhan yang dikemukakan oleh SMPR tersebut bisa memberikan sebuah gambaran bahwa aksi pada waktu itu banyak pihak yang terlibat, entah dari kalangan mahasiswa, masyarakat umum ataupun aparat keamanan. Dari pengakuan yang disampaikan oleh Kapolresta Solo, Letkol (Pol) Imam Suwangsa yang dimuat oleh Solo Pos pada 18 Mei 1998, bahwa kerusuhan yang terjadi bukan dilakukan oleh mahasiswa, tetapi kaum perusuh dan penjarah yang menunggangi aksi mahasiswa. Bahkan pihak Kapolresta telah mengamankan 114 penjarah yang beraksi selama kerusuhan pada 14-15 Mei 1998.
Terdapat artikel yang memberikan informasi tentang pelaku penjarahan pada kerusuhan yang terjadi 14-15 Mei 1998. Artikel di Solo Pos itu berjudul Di balik aksi kerusuhan (1) Menjarah, tak bisa tidur, lalu dikembalikan. Uraian dari artikel tersebut menceritakan fenomena yang terjadi pasca kerusuhan yakni beberapa warga di Kampung Pucang Sawit RT01/04, Jebres Solo yang terpaksa melakukan penjarahan karena terpengaruh sehingga mereka ikut-ikutan. Darmanto, ketua RT01/04 mengatakan bahwa beberapa warganya yang menjadi penjarah sampai tidak bisa tidur karena takut mereka dilaporkan ke pihak yang berwenang karena telah melakukan penjarahan.
Ketakutan yang mereka rasakan ialah suatu kewajaran. Mengingat sebagian dari mereka bukan penjarah profesional yaitu hanya ikut-ikutan. Disamping itu sebelumnya Kapolresta telah mengumumkan bahwa aparat akan menembak ditempat kepada para perusuh dan penjarah. Barang-barang yang mereka ambil kemudian diserahkan kepada ketua RT untuk dikembalikan kepada pemiliknya dengan harapan mereka tidak diperkarakan oleh pemilik barang jarahan tersebut. Ditempat lain, para pedagang Pusat Pertokoan Benteng Plasa juga telah mengamankan barang dagangannya. Hal itu mereka lakukan agar barang dagangannya selamat dari penjarahan.
Kerusuhan yang terjadi pada 14-15 Mei 1998 di Solo, kota tersebut mengalami kerusakan yang luar biasa. Masyarakat dari berbagai kalangan merasa prihatin dan menyesalkan atas kejadian pada waktu itu. Mulai dari pedagang, ibu rumah tangga bahkan mahasiswa sendiri bersikap sama. Mereka berharap adanya perbaikan, dan tuntutan reformasi segera diwujudkan. Hal senada juga disampaikan oleh “Spanduk reformasi” yang dipasang oleh DPC PPP Solo. Politisi tersebut juga mendukung adanya reformasi yang digaungkan oleh mahasiswa.
Pada waku itu pemerintah daerah Solo juga berjanji akan memperbaiki kerusakan yang terjadi terutama pada fasilitas-fasilitas umum. Disamping itu untuk tuntutan mahasiswa tentang pergantian pemimpin nasional, pembersihan negara dari korupsi, kolusi dan nepotisme, mengadakan sidang istimewa serta penurunan harga kebutuhan pokok, Wali Kota Solo, Imam Soetopo berjanji akan meneruskannya ke pemerintah pusat. Anti klimaks dari kerusuhan yang terjadi di Solo dapat dilihat pada artikel 18 Mei 1998 Mahasiswa dan Polresta bersih-bersih jalan. Artikel tersebut memberikan informasi bahwa mahasiswa dari UNIBA, Polresta Solo dan Warga saling bahu membahu untuk melakukan pembersihan pasca terjadi kerusuhan di Solo.

Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa gerakan mahasiswa di Solo yang pada awalnya hanya sebatas merespon terhadap krisis ekonomi yang terjadi 1997, akhirnya sampai pada term “reformasi” yakni menuntut adanya perubahan di semua level kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Gerakan mahasiswa yang merambah ke masyarakat umum mengindikasikan bahwa mahasiswa ialah representasi rakyat, hal tersebut terlihat oleh kesadaran yang dibangun mahasiswa berhasil menciptakan kesadaran dan kegelisahan kolektif oleh masyarakat secara luas. Meskipun gerakan mahasiswa ini dikacau dengan adanya peristiwa kerusuhan, mahasiswa tetap bertahan atas tuntutan mereka yakni, reformasi. 

Gerakan Reformasi 1998, Representasi Idelisme Mahasiswa

Pada tulisan sebelumnya membahas tentang peranan mahasiswa dalam reformasi 1998 di Solo. Penulis berpendapat bahwa secara empiris bisa dibuktikan bahwa gerakan reformasi tahun 1998 di Solo merupakan gerakan mahasiswa. Pada tulisan ini – sebagai lanjutan tulisan sebelumnya – penulis akan membahas sejauh mana peran mahasiswa dalam melakukan gerakan reformasi 1998 di Solo, Yogyakarta dan Lampung yang masing-masing mahasiswa di universitas melakukan gerakan. Serta bagaimana kondisi dan respon mahasiswa dalam tuntutan-tuntutan mereka untuk diadakannya reformasi dalam semua aspek baik sosial, ekonomi dan politik. Tulisan ini disusun berdasarkan data-data yang penulis peroleh dari sumber tulisan. Sumber yang digunakan ialah sumber primer yakni surat kabar sejaman. Dengan sumber berupa surat kabar penulis melakukan analisa terhadap berbagai artikel kemudian disimpulkan menjadi sebuah gagasan baru.
Bulan Maret 1998 terdapat agenda rutin tahunan yang berlangsung pada tanggal 1 sampai 11 Maret 1998. Selama periode itu digunakan untuk Sidang Umum MPR yang membahas tentang penetapan Presiden oleh MPR hasil pemilu dan juga pengesahan RAPBN menjadi APBN. Di surat kabar Solo Pos, 11 Maret 1998 ditulis suatu artikel dengan judul MPR angkat Pak Harto Lagi. Seperti halnya pada pemilihan-pemilihan presiden sebelumnya dilakukan secara mufakat dan pasti memilih dan menetapkan Soeharto sebagai presiden. Tetapi pada tahun 1998 dimana Soeharto ditetapkan sebagai presiden ketujuhkalinya pada periode 1998-2003 mendapat berbagai ancaman. Ancaman tersebut diantaranya krisis ekonomi yang tumbuh mulai tahun 1997.
Soeharto resmi diangkat sebagai Presiden melalui Sidang Paripurna X SU MPR dan mengesahkannya sebagai presiden RI 1998-2003. Pengangkatan Soeharto sebagai presiden diwarnai dengan tepuk tangan oleh anggota MPR serta disambut bahagia oleh kerabat keluarganya. Meskipun demikian tidak lantas persoalan tidak muncul. Justru pengangkatan presiden Soeharto menjadi salah satu pemicu awal bergolaknya mahasiswa. Disamping persoalan krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai, ternyata kalangan mahasiswa tidak sepakat dengan pengangkatan tersebut. Sehingga munculah gerakan-gerakan penolakan Soeharto sebagai presiden terpilih.
            Seperti artikel yang telah dimuat Solo Pos 1 April 1998 bahwa mahasiswa Solo, UGM dan UI menolak terselenggaranya dialog. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh adanya ketidak sepahaman antara pihak penyelanggara dialog yakni panglima ABRI Jendral Wiranto dan Laskar Ampera pimpinan Arif Rahman Hakim. Disini dapat dilihat bahwa mahasiswa pada waktu itu sudah mulai berseberangan dengan pemerintah. Mahasiswa menganggap gerakan pembaharuan yang diusung mereka tidak membutuhkan promotor. Disamping itu dialog yang direncanakan oleh pemerintah pada waktu itu tidak terlebih dahulu dibicarakan kepada mahasiswa. Sehingga timbul kesan antara ABRI dan Laskar Ampera ingin menjadi promotor dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa bersikap seperti itu untuk mencegah gerakan mahasiswa ditunggangi oleh pihak yang mempunyai kepentingan praktis.
Di Solo, melalui SMPT UNS (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi UNS) yang merupakan organisasi resmi mahasiswa UNS tidak bersepakat dengan dialog yang akan dilakukan. Menurut artikel tersebut meskipun dari pihak rektorat UNS sendiri melakukan dukungan terhadap terselenggaranya dialog tersebut, mahasiswa UNS lebih memilih untuk tidak menjawab bahkan cenderung untuk menolak dialog itu. Kondisi hampir di semua Perguruan Tinggi pada waktu itu mengalami dinamika akibat tuntutan mahasiswanya terhadap reformasi yang harus dilakukan pemerintah. Begitu pula yang dilakukan oleh mahasiswa UNS.
Disamping mahasiswa UNS yang dimotori oleh SC SMPT, mahasiswa UGM yakni Keluarga Mahasiswa (KM UGM) juga memiliki sikap yang tidak jauh berbeda dengan UNS. Bahkan sikap KM UGM lebih tegas yakni menolak dialog yang diselenggarakan oleh Jendral Wiranto selaku panglima ABRI dan Arif Rahman Hakim dari Yayasan Laskar Ampera. Menurut ketua Senat Mahasiswa UGM Ridaya La Ode Ngkowe bahwa dialog yang dilakukan merupakan dialog secara sepihak. Artinya, dialog yang akan dilakukan tidak terlebih dahulu dibicarakan kepada mahasiswa. Maka dari itu ada anggapan itu sekenario yang telah disiapkan untuk mahasiswa. Ditambah lagi dengan posisi ABRI yang tidak jelas antara sebagai pihak keamanan, perwakilan pemerintah ataukah sebagai penampung aspirasi mahasiswa. Sehingga tidak heran ketika KM UGM menolak ajakan dialog tersebut.
  Dialog yang akan diselenggarakan pada waktu itu menurut dugaan Ridaya selaku ketua senat mahasiswa UGM ialah bagian dari strategi untuk melemahakan mahasiswa. artinya bahwa dialog tersebut merupakan upaya untuk mengkooptasi dan meredam aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Dia juga menilai bahwa dialog tersebut hanya untuk menutupi keengganan pemerintah dan ABRI dalam mewujudkan tuntutan mahasiswa untuk mereformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Terdapat memori masa lalu yang muncul. Ada kekhawatiran oleh KM UGM ketika berhadapan dengan ABRI. Kekhawatiran itu yakni peristiwa 66 terulang dimana mahasiswa didekati oleh ABRI untuk menggulingkan orde lama yang kemudian mahasiswa juga ditunggalkan.
Posisi mahasiswa yang sangat sulit mendorong setiap langkah dan sikap mahasiswa haruslah berhati-hati. Terutama jangan sampai kemudian gerakan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Mahasiswa yang memiliki idealisme sangat tinggi dan keperpihakan terhadap kepentingan masyarakat tidak mau dikotori. Meskipun harus berdialog, mahasiswa mempunyai beberapa syarat. Syarat itu ialah pertama, adanya kesetaran dan kebebasan dalam dialog. Artinya dalam dialog mahasiswa diberi kesetaran dengan pemerintah atau  lawan dialog. Disamping itu mahasiswa harus diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat, gagasan atau bahkan tuntutan-tuntutan.
Kedua, dialog haruslah bersifat terbuka, trasparan dan melibatkan banyak komponen mahasiswa. Artinya mahasiswa menuntut adanya keterbukaan dalam penyampaian aspirasi mereka. Tidak lagi dinding pembatas dari segala aspirasi dan uneg-uneg yang akan disampaikan mahasiswa. Dan yang ketiga, dalam dialog untuk penjaringan aspirasi yang terpenting adalah bagaimana kemudian aspirasi itu diwujudkan. Artinya, aspirasi yang didapatkan melalui dialog tersebut bukan hanya sebatas ditampung sebagai arsip, melainkan juga diwujudkan, dilaksanakan. Disamping tiga syarat tersebut, mahasiswa menuntut adanya figur-figur yang tidak cacat sosial dan komitmen terhadap demokrasi.
Senat Mahasiswa UI yang diketuai oleh Rama, mengungkapkan dan bersikap yang sama dengan SC SMPT UNS dan KM UGM yang menolak rencana dialog yang dimotori oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. SMUI beranggapan sama yakni tidak pernah terjadi pembicaraan terlebih dahulu tentang adanya dialog. Disamping itu dialog tersebut ditengarai memiliki kepentingan tertentu. Bagi SMUI sendiri, sikap penolakan terhadap dialog bukanlah sikap anti dialog dan bertukar pikiran. Melainkan atas dasar ketidakmauan mereka ketika gerakan mahasiswa dimotori oleh pihak tertentu. Mahasiswa memiliki komitmen tersendiri untuk kepentingan rakyat.
Disamping itu mahasiswa UI juga berharap bahwa dalam melakukan dialog harus ada mekanisme yang adil dan trasparan. Sama halnya dengan mahasiswa dari KM UGM, mahasiswa UI juga menuntut keterbukaan dan transparasi dalam dialog. Transparasi ketika melakukan dialog menjadi penting untuk menciptakan kualitas dialog yang baik terhadap output atau hasil dari dialog tersebut. Disamping itu dialog harus memberikan posisi adil, artinya semua memiliki perannya sendiri. Sehingga didalam dialog tidak memerlukan adanya mediator atau perantara dari siapa pun. Hal itu mencegah terjadinya keperpihakan kepada pihak tertentu yang mempengaruhi asas keadilan dan keterbukaan terhadap dialog itu sendiri.
Di lain pihak artikel yang keluar di media sama yakni Solo Pos tertanggal 2 April 1998 dengan judul Mahasiswa tidak sepakat turun ke jalan, disana ditulis bahwa telah terjadi pertemuan antara sejumlah pejabat militer dan pemerintahan di Solo dengan Pembantu Rektor III serta perwakilan mahasiswa di empat universitas. Empat universitas itu antara lain UNS, UNISRI, UMS dan UTP. Pertemuan tersebut membahas tentang upaya untuk meredam aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa. Pertemuan yang diselenggarakan di gedung PLN Cabang Solo itu berhasil menghasilkan kesepakatan antara mahasiswa dan PR III menjamin tidak ada aksi turun jalan oleh mahasiswa.
Pertemuan yang diselenggarakan pada 31 Maret 1998 malam itu menurut Danrem pertemuan tersebut bukan pertemuan yang khusus, baginya pertemuan itu hanyalah pertemuan biasa hanya “ngudi rasa” atau sharing saja. Dari artikel tersebut dapat dilihat upaya aparat keamanan yakni Danrem Kolonel (Inf) Sriyanto mengatasi aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa dengan menggandeng PR III dan beberapa pentolan mahasiswa. Upaya tersebut meskipun dalihnya “ngudi rasa” tetap saja peredaman aksi. Tentu hal tersebut wajar karena memang strategi pencegahan bukan hanya bisa dilakukan dengan kekerasan fisik melainkan juga pertemuan “ngudi rasa”.
Peristiwa mulai berlalu dimana aksi turun jalan bisa dimenejemen dengan dialog. Meskipun ada ajakan dialog yang tidak diterima oleh para mahasiswa. Pada dasarnya mahasiswa dan umumnya masyarakat Indonesia menginginkan reformasi yang riil. Hal tersebut yang setidaknya ingin disampaikan oleh Rektor UMS, Prof. Dochak Latief. Hasil wawancara yang dilakukan oleh pihak Solo Pos kepada Rektor UMS yang ditulis di artikel Solo Pos pada 18 Mei 1998. Artikel tersebut mengungkapkan bagaimana peran istitusi perguruan tinggi swasta terhadap gulirnya reformasi 1998. Antara mahasiswa, demonstrasi dan kekekerasan atau kerusuhan yang terjadi merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari reformasi itu sendiri.
Maraknya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa terutama yang disoroti ialah mahasiswa dari perguruan tinggi swasta bagi Prof. Dochak justru mengindikasikan adanya pemerataan kualitas dari perguruan tinggi di Indonesia. Pada dekade sebelumnya dimana pergerakan mahasiswa dapat dilihat terpusat di perguruan tinggi negeri (PTN) dan kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung saja, akan tetapi reformasi 1998 berhasil mendistribusikan energi kepada mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS). Aspirasi yang dimotori mahasiswa UNS yang merupakan mahasiswa PTN telah menjadi aspirasi oleh mahasiswa di perguruan tinggi nasional (baik PTN ataupun PTS).
Sebenarnya menurut penulis sendiri gerakan mahasiswa dalam menggulirkan reformasi 1998 tidak mengenal dikotomi antara mahasiswa PTN atau mahasiswa PTS. Perbedaan kualitas atau kuantitas juga bukan menjadi permasalahan antara PTN dan PTS. Yang membuat mereka bersatu ialah kebutuhan sama akan adanya perubahan. Kalau menurut Prof. Dochak perekat mahasiswa di Indonesia timbul dengan sendirinya akibat adanya aspirasi yang sama. Aspirasi itu ialah cita-cita yang sama dan harapan yang sama tentang perubahan. Sebagaimana mahasiswa menyebutnya sebagai reformasi. Hal itu tentu memiliki semangat yang lebih kuat dibanding dengan melakukan pendikotomian.
Mengenai pertanyaan terhadap batas kewajaran gerakan mahasiswa pada waktu itu dimana kondisinya sudah mulai tidak kondusif, telah terjadi kerusuhan yang berujung pada bentrok. Menurut Prof. Dochak hal itu masih dalam batas kewajaran, ada dua faktor yang menyebabkan peristiwa kerusuhan itu. Pertama ialah adanya kejengkelan yang timbul akibat dari proses yang cukup lama, aksi-aksi telah banyak digelar akan tetapi tetap saja tidak ada perubahan yang dilakukan pemerintah. Dan yang kedua yakni sikap aparat keamanan dalam hal ini TNI/Polri yang terlampau represif. Dua alasan tersebut setidaknya menjadi alasan terhadap kewajaran tadi.
Untuk alasan pertama, kejengkelan itu merupakan kewajaran. Akibat dari kejenuhan yang dirasakan oleh mahasiswa dan para demonstran. Kejenuhan terhadap pemerintah yang tidak kunjung melakuan perubahan terhadap tuntutan yang dibawa mahasiswa. Dari periode tahun 1997 dimana mulai ada letupan-letupan kecil menolak kerjasama dengan pemerintah dengan IMF dan respon mahasiswa terhadap krisis ekonomi. Kemudian gerakan demi gerakan muncul pada tahun 1998, bahkan pada bulan April-Mei menurut kesaksian Umi dan Taufik yang merupakan aktivis 1998 hampir setiap hari mahasiswa melakukan aksi turun jalan. Hal itu upaya pemerintah dalam melakukan perubahan.
Alasan kedua, sikap represif yang dilakukan aparat keamanan. Sikap represif dari aparat keamanan menjadi persoalan yang cukup kompleks. Kita tidak bisa langsung mengambil konklusi bahwa hal itu semata-mata salah aparat keamanan. Ada banyak kemungkinan penyebab kenapa kemudian tindakan represif itu bisa muncul. Ketika melakukan aksi demonstrasi emosi terus berkembang baik oleh para demonstran dalam hal ini mahasiswa atau pihak aparat itu sendiri. Emosi itu lama-lama mengalami peningkatan apabila diantara salah keduanya tidak bisa memenejemen emosinya maka yang terjadi adalah ledakan emosi.
Ledakan emosi tadi yang biasanya membuat terjadinya bentrok. Hal itu dikarenakan masing-masing pihak merasa benar. Keegoisan itu yang sebenarnya menjadi persoalan. Emosi yang semakin meningkat menurut Prof. Dochak juga berpotensi munculnya persoalan-persoalan baru terkait sentiman ras, kelas sosial dan sebagainya. Sehingga tentu ketika terjadi kerusuhan yang ada adalah percampuran emosi yang tidak seimbang. Aparat keamanan yang mempunyai bekal senjata bahkan sering menggunakannya dengan salah. Disamping itu seperti yang telah dikemukakan oleh Kapolda Jateng dan DIY ketika bertemu dengan pimpinan Perguruan Tinggi se Surakarta dan se Yogyakarta di harian Solo Pos pada 21 April 1998, dia menganggap bahwa inseden bentrokan yang sering terjadi antara mahasiswa dan aparat itu akibat emosi.
Kemudian ditanya mengenai larangan terhadap mahasiswa melakukan demonstrasi, Prof. Dochak tidak sepakat dengan itu. Mahasiswa harus tetap dibiarka menyampaikan aspirasi mereka. Hal itu juga merupakan bentuk dari demokrasi. Justru yang perlu melakukan evaluasi adalah lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri. Mereka harus mampu membuktikan kinerjanya. Apabila lembaga tersebut tidak berfungsi secara efektif maka akan wajar ketika ada pihak yang melakukan kritik. Demikian yang harus dipahami bahwa demonstrasi merupakan alat penyampaian aspirasi. Apabila hal tersebut dilarang maka telah terjadi anti demokrasi.
Dari artikel tersebut ditutup dengan sebuah pertanyaan tentang peran fungsi media (pers). Berbicara tentang media sebagai penyebar informasi, menurut Prof. Dochak media harus bersikap adil dalam pemberitaan. Media harus memberitakan sesuai dengan peristiwa yang terjadi, atau objektif. Tidak melakukan penambahan maupun pengurangan dari informasi yang disampaikan. Memang peran media ialah hal yang sangat penting di dalam sebuah gerakan pembaharuan. Media cetak misalnya hampir setiap orang diberbagai kelas mampu mengaksesnya. Hal itu yang menjadi peran vital dari media pers.
Begitu pula yang terjadi dalam reformasi. Media mempunyai peran yang sangat strategis dalam peyebaran isue kepada masyarakat. Itulah yang menjadi penyebab kenapa yang pada awalnya gerakan mahasiswa dalam lingkup Solo kemudian menjadi isue nasional. Berangkat dari sini dapat dilihat peran strategis itu. Meskipun terkadang pemberitaan yang muncul seputar bentrok antara mahasiswa dengan polisi, akan tetapi hal tersebut juga tetap memberikan pengaruh terhadap mahasiswa dan masyarakat di daerah lain.
Pengaruh yang ditimbulkan dari pemberitaan media membangun suatu kesadaran kolektif. Artinya media pers dapat dijadikan alat untuk bagi-bagi energi. Ada kepentingan bersama, cita-cita bersama yang harus diwujudkan secara bersama-sama. Reformasi 1998 bukan menjadi tuntutan yang hanya berlaku di daerah Solo. Tetapi perubahan di bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum itu harus dilakukan pada level pemerintahan pusat yang berarti mencakup nasional. Hal itu menjadi alat untuk menyampaikan tuntutan reformasi di segala penjuru daerah. Sehingga dari isue yang hanya digerakkan di Solo, menjadi isue bersama di level nasional.
Sebagai penutup analisis ini, dari sumber-sumber yang ada mengenai reformasi 1998 terdapat suatu peristiwa yang dapat menjadi pembelajaran bagi masa depan. Idealisme mahasiswa pada waktu itu masih sangat tinggi, hal tersebut dapat dilihat secara jelas ketika mahasiswa menolak untuk dialog yang akan diselenggarakan oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. Mahasiswa pada dasar nya bukan anti-dialog atau anti untuk bertukar pikiran, akan tetapi idealisme yang kuat dari mahasiswa yakni agar gerakan mereka tidak menjadi kendarakan politik bagi pihak yang berkepentingan. Mahasiswa sangat memegang teguh idealisme itu.

Disisi lain, pada artikel yang berbeda tentang dialog yang dilakukan antara Solo Pos dengan Rektor UMS Prof. Dochak Latief, memeberikan suatu pengetahuan nyata tentang reformasi. Pada waktu itu Reformasi 1998 masyarakat menuntut hasil yang riil. Hampir setiap hari demonstran melakukan unjuk rasa, harta benda bahkan nyawa hilang. Akan tetapi mereka tetap melakukannya, itu berarti reformasi dianggap suatu keharusan. Semua elemen yang ada di masyarakat Indonesia membentuk suatu kesadaran kolektif untuk mewujudkan reformasi 1998 secara riil. 

“Reformasi 1998 di Solo, Murnikah Gerakan Mahasiswa?”

Tahun 1998 telah terjadi peristiwa bersejarah yakni reformasi. Mahasiswa tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan peristiwa tersebut. Reformasi 1998 merupakan buah hasil dari gerakan mahasiswa yang dalam kurun waktu sebelumnya mendapat kekangan pasca dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK. Kebijakan pemerintah tahun 1980an tersebut berhasil mengebiri dan meredam gerakan mahasiswa dalam menentang pemerintah orde baru. Terlepas dari itu mahasiswa mulai bangkit dan menunjukkan eksistensinya sebagai agent of chage.
Di Solo yang merupakan titik awal pergolakan, menjadi pemicu terjadinya gerakan reformasi 1998. Pada waktu itu mahasiswa lah sebagai pelopor pergerakan. Namun apabila dilihat kondisinya, di Solo termasuk kota yang porak poranda akibat kerusuhan yang terjadi. Bakar-bakaran, penjarahan merupakan hal yang biasa. Namun bukan itu yang penulis lihat. Artikel ini akan lebih membahas tentang gerakan reformasi 1998 yang di awali di Solo, sejauh mana peran mahasiswa dan benarkah itu gerakan mahasiswa?. Untuk dapat menganalisa peristiwa itu, penulis mencari data melalui wawancara. Sumber yang penulis gunakan ialah sumber primer, yakni wawancara dengan orang yang terlibat secara langsung dengan peristiwa.
Mahasiswa merupakan agent of change, agen penggerak perubahan. Setiap kali terdapat penguasa yang dzolim maka kesadaran mahasiswa sebagai agent of change, moral force dan entitas transformer akan mucul untuk melakukan perbaikan. Mahasiswa dengan kata perubahan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Gerakan-gerakan perubahan dalam level masyarakat bahkan negara, mahasiswa lah yang menjadi aktornya. Mahasiswa merupakan insan yang memiliki kapasitas baik secara keilmuan, intelektual dan jaringan sebagai modal dalam melakukan perubahan di dalam masyarakat. Mahasiswa memiliki tanggungjawab secara moral dan intelektual untuk memperbaiki kondisi masyarakat dan bangsa.
Solo merupakan kota yang memiliki sejarah cukup panjang ketika berbicara tentang pergerakan. Sejarah mencatat pergerakan-pergerakan yang ada di Indonesia dipelopori oleh Solo. Sarekat Islam misalnya, sebuah organisasi pergerakan awal abad 20 yang sepak terjangnya sangat besar dalam pergerakan menuju kemerdekaan. Disamping itu juga Solo sebagai pusat budaya yang dikenal unggah-ungguh serta tatanan masyarakatnya yang memiliki budaya jawa tinggi. Lalu timbul suatu pertanyaan mengapa Solo yang merupakan kota budaya ini seolah-olah kontradiktif dengan peristiwa kerusuhan 1998. Kalau asumsinya gerakan reformasi 1998 di Solo merupakan gerakan mahasiswa, perlu dilakukan kajian apakah benar gerakan itu murni gerakan mahasiswa?.
Sejarah mencatat 1998 ialah tahun pergerakan mahasiswa setelah sekian lama mengalami hibernasi dalam hal pergerakan. Yang berkembang pada waktu itu hanya kelompok-kelompok studi. Kevakuman pergerakan mahasiswa dimulai pasca dikeluarkannya Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) tahun 1975. NKK/BKK mengharuskan mahasiswa berkonsentrasi dengan aktivitas akademiknya, sedangkan aktivitas politik tidak diperbolehkan berada di dalam kampus. Menurut pengakuan dari Taufik aktivis mahasiswa 98, meski masih ada peraturan NKK/BKK bukan berarti gerakan mahasiswa mati. Hanya saja dalam melakukan pergerakan tidak secara terbuka di dalam kampus.
Universitas Sebelas Maret (UNS) sendiri, mahasiswa membentuk semacam kelompok yang diberi nama Solidaritas Mahasisawa Peduli Rakyat (SMPR). Kelompok ini beranggotakan mahasiswa dari berbagai latar belakang fakultas, bahkan jurusan yang berbeda. Organisasi di intra kampus terdiri dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Keluarga Mahasiswa UNS dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sedangkan organisasi ekstra kampus terdiri dari KAMMI, HMI, PMII, FRD. Ada hal yang hampir mirip dengan periode tahun 1965-1966 ketika para mahasiswa menurunkan presiden Soekarno yakni dibentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di Universitas Indonesia. Begitu pula yang dilakukan mahasiswa UNS dengan membentuk SMPR.
            Reformasi 1998 untuk pertama kalinya dikenalkan oleh mahasiswa di Universitas Sebelas Maret dan Universitas Negeri Lampung. Dua universitas ini yang menjadi pionir dalam meletusnya gerakan besar-besaran bulan April-Mei. Gerakan reformasi 1998 yang digaungkan oleh mahasiswa ini pada mulanya salah satu respon terhadap gejolak ekonomi yang dimulai tahun 1997. Pada tahun itu Indonesia terkena krisis ekonomi yang luar biasa inflasi pada waktu itu hampir mencapai 700%. Gambaran yang disampaikan Taufik, tahun 1996, harga tempe Rp. 50-, dan harga es teh Rp. 150-. Nilai tukar rupiah terhadap dollar masih dalam kisaran Rp. 2.000 per $1. Sedangkan pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi yang bergejolak, nilai tukar rupiah terhadap dollar meningkat drastis menjadi sekitar Rp. 10.000 – Rp 11.000 per $1. Hal tersebut dapat dibayangkan betapa menderitanya rakyat pada waktu itu.
Krisis moneter yang berkepanjangan sedang pemerintahan Soeharto tidak bisa mengatasi gejolak. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi terjadinya gerakan reformasi 1998 terutama di Solo. Demonstrasi sebenarnya sudah dilakukan mahasiswa di Solo yang mengangkat isue tentang komitmen Soeharto kepada IMF. Hal itu merupakan embrio dari gerakan yang telah dilakukan mahasiswa di Solo. Pada awal tahun 1998 menurut pengakuan Umi juga sudah ada demonstrasi-demonstrasi meski belum menggarah pada penggulingan presiden. Pengakuan serupa juga dikemukaan oleh Taufik. Menurutnya, gerakan demonstrasi yang dilakukan awal tahun 1998 itu hanya lah letupan-letupan kecil.
Siklus sepuluh tahunan juga menjadi referensi yang sangat kuat bagi para mahasiswa dalam melakukan gerakan. Gerakan-gerakan yang dimotori oleh mahasiswa dari mulai tahun 1928, 1945 ikatan pemuda lapangan ikada, 1960, 1970,1980 dan berujung pada gerakan mahasiswa 1998. Tahun 1998 mahasiswa sudah mulai berbicara tentang sosial demokratis yang hal itu tidak dimiliki oleh Soeharto.
Pada bulan Maret 1998 terdapat agenda rutin tahunan yang berlangsung pada tanggal 1 sampai 11 Maret 1998. Selama periode itu digunakan untuk Sidang Umum MPR yang membahas tentang penetapan Presiden oleh MPR hasil pemilu dan juga pengesahan RAPBN menjadi APBN. Pada waktu itu penetapan Presiden selalu dilakukan dengan cara musyawarah mufakat. Hal tersebut hampir selalu dilakukan oleh MPR setiap lima tahunan. Parlemen yang hanya terdiri 2 partai yakni PPP, PDI. Selain itu ada Golkar yang merupakan penjelmaan dari pemerintah, hampir semua Pegawai Negeri dan aparat pemerintah dilakukan wajib Golkar. MPR pada waktu itu menetapkan Soeharto menjadi presiden untuk ke-6 kalinya.
Pada bulan Mei 1998 gerakan demonstrasi semakin menggeliat. Pasca ditetapkannya Soeharto sebagai Presiden untuk ke-6 kalinya menimbulkan kejenuhan masyarakat. Soeharto yang tidak bisa mengatasi krisis ekonomi, justru tetap diangkat menjadi Presiden. Akibat dari kondisi demikian, mahasiswa terus-menerus melakukan gerakan demonstrasi. Para mahasiswa hampir setiap hari turun jalan melakukan aksi di depan Bullevard UNS. Suasana di Bullevard mencekam, areal kampus itu menjadi daerah konflik. Mahasiswa tidak berani untuk keluar jalan, begitu pula polisi tidak akan masuk ke dalam areal kampus. Suasana semakin tidak kondusif ketika hampir setiap demonstrasi terjadi kerusuhan.
Kerusuhan yang terjadi menurut Taufik, hal itu sudah diprediksi karena setiap kali melakukan demonstrasi, saking banyaknya orang yang turun jalan maka sudah sulit dibedakan antara mahasiswa dengan bukan mahasiswa. Setiap demonstrasi polisi selalu menyemprot para demonstran dengan gas air mata. Paving-paving bertebaran, kondisi yang terjadi sudah sangat tidak kondusif. Meskipun UNS merupakan kampus yang wilayahnya terkonsentrasi sehingga menurut Taufik gerakan-gerakannya sulit dikacau oleh intel, akan tetapi tidak bisa menjamin bahwa orang yang ikut demonstrasi semua mahasiswa. Jadi apabila terjadi kerusuhan belum tentu pelakunya mahasiswa.
Demonstrasi yang selalu keostik antara demonstran dengan polisi terjadi bentrok, dari sisi lain terdapat pengaruh dari media. Media sebagai sumber informasi mempunyai peranan yang cukup strategis didalam penyebarluasan isue. Mahasiswa menutut adanya reformasi disegala aspek kehidupan, bukan hanya ekonomi politik tetapi juga keterbukaan dan demokrasi. Menurut Taufik, mahasiswa pada waktu itu tidak membawa issue tunggal yakni penurunan Soeharto tetapi seperti Tritura. Mahasiswa sudah mempunyai keyakinan bahwa Soeharto akan turun. Hal tersebut yang membuat para mahasiswa menjadi terbakar semangatnya. Mahasiswa membuat setting aksi, merilis berita (pers release) yang dilakukan hampir setiap malam.
Pada bulan Mei 1998, demonstrasi yang begitu intensif dilakukan bahkan menurut pengakuan Taufik, partai juga ikut dalam demonstrasi. Kondisi yang terjadi pada waktu itu keostik hampir tidak terkendali. Setiap terjadi demonstrasi selalu ada bentrok dan kerusuhan. Ada beberapa hal yang dapat diketahui bahwa kondisi pada waktu itu tidak ada anggapan terhadap latar belakang yang berbeda. Di satu sisi hal anggapan tersebut wajar karena memang isue-isue yang diangkat sama, sehingga baik mahasiswa dengan latar belakang yang berbeda maupun masyarakat bahkan politisi pun bisa ikut bersama-sama demonstrasi. Di sisi lain bahwa ada berbagai kepentingan yang menunggangi reformasi 1998 akan sangat mungkin terjadi.
Mahasiswa ialah agent of change, agen penggerak perubahan menuju masyarakat yang lebih baik. Perubahan yang dilakukan mahasiswa tidak lepas dari tanggungjawabnya sebagai insan intelektual dan sosial. Tahun 1998 menjadi tahun yang sarat akan sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun terpaksa terhenti akibat dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa didalam gerakannya didukung oleh berbagai komponen bangsa  menjadi satu hal yang pantas dicacat oleh sejarah.
Di Solo, lebih khususnya UNS, sebuah Universitas yang berdirinya tidak lepas dari campur tangan orde baru juga menjadi salah satu universitas pelopor terjadinya reformasi 1998. Setelah sebelumnya gerakan mahasiswa hanya sebatas kelompok studi maka pada tahun 1998 muncul suatu kelompok gerakan mahasiswa dengan nama SMPR. Kelompok ini muncul dari berbagai elemen organisasi kampus di UNS. Kelompok gerakan yang dibangun atas dasar keyakinan dan isue yang sama.
Di samping itu peran media sebagai peyebar informasi kepada khalayak umum memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam bergulirnya Reformasi 1998. Media memiliki peran strategis apalagi media surat kabar cetak dimana semua elemen masyarakat dari golongan biasa sampai masyarakat kelas atas mampu mengakses informasi yang diberitakan. Sehingga pada waktu itu hampir setiap hari mahasiswa selalu mengeluarkan pers release yang berisi isue-isue yang dibawa mahasiswa. Statetment mahasiswa tentang tuntutan reformasi dan sebagainya.
Dari informasi dua narasumber yang telah penulis peroleh terkait pertanyaan apakah reformasi yang didahului di Solo merupakan murni gerakan mahasiswa, memberikan informasi bahwa memang benar reformasi 1998 merupakan gerakan mahasiswa. Meskipun gerakan reformasi yang dilakukan dalam keberjalannya terdapat bentrokan yang berujung pada kerusuhan setiap kali demonstrasi, hal itu sepertinya bisa dikesampingkan karena memang yang melakukan demonstrasi bukan hanya kelompok mahasiswa saja seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Mahasiswa secara gerakan mempunyai peranan strategis. Mahasiswa yang memulai gerakan ini. Meski dalam demonstrasi masyarakat atau elemen yang lain ikut terlibat tetapi baik secara konsep gerakan maupun teknis gerakan, mahasiswa mempunyai andil yang besar. Menurut pengakuan dari salah satu narasumber, Taufik yang merupakan aktivis mahasiswa yang terlibat langsung dalam gerakan tersebut, pada waktu itu memang ada demonstrasi berbayar, tetapi hal itu tidak dilakukan mahasiswa. Pengakuan serupa juga disampaikan Umi, meski terjadi kerusuhan dan pembakaran di Solo, reformasi yang dipelopori mahasiswa merupakan gerakan mahasiswa.

Penulis sendiri berpendapat bahwa dengan berbagai uraian kronologi, sebab-akibat terjadinya gerakan mahasiswa yang terjadi di Solo merupakan gerakan yang dibangun atas dasar kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif muncul dari pikiran-pikiran mahasiswa yang sebelumnya dikekang dan dibatasi pada kegiatan-kegiatan tertentu. Reformasi 1998 juga menjadi sebuah bukti bahwa gerakan mahasiswa tidak mati meskipun NKK/BKK masih berlaku. Kekuatan yang dimiliki oleh mahasiswa dan people power akan senantiasa muncul ketika dihadapkan dengan penguasa yang bertindak represif dan anti terhadap keterbukaan serta demokrasi.