Pada tulisan sebelumnya membahas
tentang peranan mahasiswa dalam reformasi 1998 di Solo. Penulis berpendapat
bahwa secara empiris bisa dibuktikan bahwa gerakan reformasi tahun 1998 di Solo
merupakan gerakan mahasiswa. Pada tulisan ini – sebagai lanjutan tulisan
sebelumnya – penulis akan membahas sejauh mana peran mahasiswa dalam melakukan
gerakan reformasi 1998 di Solo, Yogyakarta dan Lampung yang masing-masing
mahasiswa di universitas melakukan gerakan. Serta bagaimana kondisi dan respon
mahasiswa dalam tuntutan-tuntutan mereka untuk diadakannya reformasi dalam
semua aspek baik sosial, ekonomi dan politik. Tulisan ini disusun berdasarkan data-data
yang penulis peroleh dari sumber tulisan. Sumber yang digunakan ialah sumber primer
yakni surat kabar sejaman. Dengan sumber berupa surat kabar penulis melakukan
analisa terhadap berbagai artikel kemudian disimpulkan menjadi sebuah gagasan
baru.
Bulan Maret 1998 terdapat agenda rutin
tahunan yang berlangsung pada tanggal 1 sampai 11 Maret 1998. Selama periode
itu digunakan untuk Sidang Umum MPR yang membahas tentang penetapan Presiden
oleh MPR hasil pemilu dan juga pengesahan RAPBN menjadi APBN. Di surat kabar Solo Pos, 11 Maret 1998 ditulis suatu
artikel dengan judul MPR angkat Pak Harto
Lagi. Seperti halnya pada pemilihan-pemilihan presiden sebelumnya dilakukan
secara mufakat dan pasti memilih dan menetapkan Soeharto sebagai presiden.
Tetapi pada tahun 1998 dimana Soeharto ditetapkan sebagai presiden
ketujuhkalinya pada periode 1998-2003 mendapat berbagai ancaman. Ancaman
tersebut diantaranya krisis ekonomi yang tumbuh mulai tahun 1997.
Soeharto resmi diangkat sebagai
Presiden melalui Sidang Paripurna X SU MPR dan mengesahkannya sebagai presiden
RI 1998-2003. Pengangkatan Soeharto sebagai presiden diwarnai dengan tepuk
tangan oleh anggota MPR serta disambut bahagia oleh kerabat keluarganya.
Meskipun demikian tidak lantas persoalan tidak muncul. Justru pengangkatan
presiden Soeharto menjadi salah satu pemicu awal bergolaknya mahasiswa.
Disamping persoalan krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai, ternyata
kalangan mahasiswa tidak sepakat dengan pengangkatan tersebut. Sehingga
munculah gerakan-gerakan penolakan Soeharto sebagai presiden terpilih.
Seperti
artikel yang telah dimuat Solo Pos 1
April 1998 bahwa mahasiswa Solo, UGM dan
UI menolak terselenggaranya dialog. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh
adanya ketidak sepahaman antara pihak penyelanggara dialog yakni panglima ABRI
Jendral Wiranto dan Laskar Ampera pimpinan Arif Rahman Hakim. Disini dapat
dilihat bahwa mahasiswa pada waktu itu sudah mulai berseberangan dengan
pemerintah. Mahasiswa menganggap gerakan pembaharuan yang diusung mereka tidak
membutuhkan promotor. Disamping itu dialog yang direncanakan oleh pemerintah
pada waktu itu tidak terlebih dahulu dibicarakan kepada mahasiswa. Sehingga
timbul kesan antara ABRI dan Laskar Ampera ingin menjadi promotor dari gerakan
mahasiswa. Mahasiswa bersikap seperti itu untuk mencegah gerakan mahasiswa
ditunggangi oleh pihak yang mempunyai kepentingan praktis.
Di Solo, melalui SMPT UNS (Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi UNS) yang merupakan organisasi resmi mahasiswa UNS
tidak bersepakat dengan dialog yang akan dilakukan. Menurut artikel tersebut
meskipun dari pihak rektorat UNS sendiri melakukan dukungan terhadap
terselenggaranya dialog tersebut, mahasiswa UNS lebih memilih untuk tidak
menjawab bahkan cenderung untuk menolak dialog itu. Kondisi hampir di semua Perguruan
Tinggi pada waktu itu mengalami dinamika akibat tuntutan mahasiswanya terhadap reformasi
yang harus dilakukan pemerintah. Begitu pula yang dilakukan oleh mahasiswa UNS.
Disamping mahasiswa UNS yang dimotori
oleh SC SMPT, mahasiswa UGM yakni Keluarga Mahasiswa (KM UGM) juga memiliki
sikap yang tidak jauh berbeda dengan UNS. Bahkan sikap KM UGM lebih tegas yakni
menolak dialog yang diselenggarakan oleh Jendral Wiranto selaku panglima ABRI dan
Arif Rahman Hakim dari Yayasan Laskar Ampera. Menurut ketua Senat Mahasiswa UGM
Ridaya La Ode Ngkowe bahwa dialog yang dilakukan merupakan dialog secara
sepihak. Artinya, dialog yang akan dilakukan tidak terlebih dahulu dibicarakan
kepada mahasiswa. Maka dari itu ada anggapan itu sekenario yang telah disiapkan
untuk mahasiswa. Ditambah lagi dengan posisi ABRI yang tidak jelas antara
sebagai pihak keamanan, perwakilan pemerintah ataukah sebagai penampung
aspirasi mahasiswa. Sehingga tidak heran ketika KM UGM menolak ajakan dialog
tersebut.
Dialog
yang akan diselenggarakan pada waktu itu menurut dugaan Ridaya selaku ketua
senat mahasiswa UGM ialah bagian dari strategi untuk melemahakan mahasiswa. artinya
bahwa dialog tersebut merupakan upaya untuk mengkooptasi dan meredam aksi-aksi
yang dilakukan mahasiswa. Dia juga menilai bahwa dialog tersebut hanya untuk
menutupi keengganan pemerintah dan ABRI dalam mewujudkan tuntutan mahasiswa
untuk mereformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Terdapat memori masa
lalu yang muncul. Ada kekhawatiran oleh KM UGM ketika berhadapan dengan ABRI.
Kekhawatiran itu yakni peristiwa 66 terulang dimana mahasiswa didekati oleh
ABRI untuk menggulingkan orde lama yang kemudian mahasiswa juga ditunggalkan.
Posisi mahasiswa yang sangat sulit
mendorong setiap langkah dan sikap mahasiswa haruslah berhati-hati. Terutama
jangan sampai kemudian gerakan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan politik
tertentu. Mahasiswa yang memiliki idealisme sangat tinggi dan keperpihakan
terhadap kepentingan masyarakat tidak mau dikotori. Meskipun harus berdialog,
mahasiswa mempunyai beberapa syarat. Syarat itu ialah pertama, adanya kesetaran dan kebebasan dalam dialog. Artinya dalam
dialog mahasiswa diberi kesetaran dengan pemerintah atau lawan dialog. Disamping itu mahasiswa harus
diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat, gagasan atau bahkan tuntutan-tuntutan.
Kedua,
dialog haruslah bersifat terbuka, trasparan dan melibatkan banyak komponen
mahasiswa. Artinya mahasiswa menuntut adanya keterbukaan dalam penyampaian
aspirasi mereka. Tidak lagi dinding pembatas dari segala aspirasi dan uneg-uneg yang akan disampaikan
mahasiswa. Dan yang ketiga, dalam
dialog untuk penjaringan aspirasi yang terpenting adalah bagaimana kemudian
aspirasi itu diwujudkan. Artinya, aspirasi yang didapatkan melalui dialog
tersebut bukan hanya sebatas ditampung sebagai arsip, melainkan juga
diwujudkan, dilaksanakan. Disamping tiga syarat tersebut, mahasiswa menuntut
adanya figur-figur yang tidak cacat sosial dan komitmen terhadap demokrasi.
Senat Mahasiswa UI yang diketuai oleh
Rama, mengungkapkan dan bersikap yang sama dengan SC SMPT UNS dan KM UGM yang
menolak rencana dialog yang dimotori oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. SMUI beranggapan
sama yakni tidak pernah terjadi pembicaraan terlebih dahulu tentang adanya
dialog. Disamping itu dialog tersebut ditengarai memiliki kepentingan tertentu.
Bagi SMUI sendiri, sikap penolakan terhadap dialog bukanlah sikap anti dialog
dan bertukar pikiran. Melainkan atas dasar ketidakmauan mereka ketika gerakan
mahasiswa dimotori oleh pihak tertentu. Mahasiswa memiliki komitmen tersendiri
untuk kepentingan rakyat.
Disamping itu mahasiswa UI juga
berharap bahwa dalam melakukan dialog harus ada mekanisme yang adil dan
trasparan. Sama halnya dengan mahasiswa dari KM UGM, mahasiswa UI juga menuntut
keterbukaan dan transparasi dalam dialog. Transparasi ketika melakukan dialog
menjadi penting untuk menciptakan kualitas dialog yang baik terhadap output
atau hasil dari dialog tersebut. Disamping itu dialog harus memberikan posisi
adil, artinya semua memiliki perannya sendiri. Sehingga didalam dialog tidak
memerlukan adanya mediator atau perantara dari siapa pun. Hal itu mencegah
terjadinya keperpihakan kepada pihak tertentu yang mempengaruhi asas keadilan
dan keterbukaan terhadap dialog itu sendiri.
Di lain pihak artikel yang keluar di
media sama yakni Solo Pos tertanggal
2 April 1998 dengan judul Mahasiswa tidak
sepakat turun ke jalan, disana ditulis bahwa telah terjadi pertemuan antara
sejumlah pejabat militer dan pemerintahan di Solo dengan Pembantu Rektor III
serta perwakilan mahasiswa di empat universitas. Empat universitas itu antara
lain UNS, UNISRI, UMS dan UTP. Pertemuan tersebut membahas tentang upaya untuk
meredam aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa. Pertemuan yang
diselenggarakan di gedung PLN Cabang Solo itu berhasil menghasilkan kesepakatan
antara mahasiswa dan PR III menjamin tidak ada aksi turun jalan oleh mahasiswa.
Pertemuan yang diselenggarakan pada 31
Maret 1998 malam itu menurut Danrem pertemuan tersebut bukan pertemuan yang
khusus, baginya pertemuan itu hanyalah pertemuan biasa hanya “ngudi rasa” atau sharing saja. Dari
artikel tersebut dapat dilihat upaya aparat keamanan yakni Danrem Kolonel (Inf)
Sriyanto mengatasi aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa dengan menggandeng
PR III dan beberapa pentolan mahasiswa. Upaya tersebut meskipun dalihnya “ngudi rasa” tetap saja peredaman aksi.
Tentu hal tersebut wajar karena memang strategi pencegahan bukan hanya bisa
dilakukan dengan kekerasan fisik melainkan juga pertemuan “ngudi rasa”.
Peristiwa mulai berlalu dimana aksi
turun jalan bisa dimenejemen dengan dialog. Meskipun ada ajakan dialog yang
tidak diterima oleh para mahasiswa. Pada dasarnya mahasiswa dan umumnya
masyarakat Indonesia menginginkan reformasi yang riil. Hal tersebut yang
setidaknya ingin disampaikan oleh Rektor UMS, Prof. Dochak Latief. Hasil
wawancara yang dilakukan oleh pihak Solo
Pos kepada Rektor UMS yang ditulis di artikel Solo Pos pada 18 Mei 1998. Artikel tersebut mengungkapkan bagaimana
peran istitusi perguruan tinggi swasta terhadap gulirnya reformasi 1998. Antara
mahasiswa, demonstrasi dan kekekerasan atau kerusuhan yang terjadi merupakan
bagian yang tidak bisa lepas dari reformasi itu sendiri.
Maraknya
aksi yang dilakukan oleh mahasiswa terutama yang disoroti ialah mahasiswa dari
perguruan tinggi swasta bagi Prof. Dochak justru mengindikasikan adanya
pemerataan kualitas dari perguruan tinggi di Indonesia. Pada dekade sebelumnya
dimana pergerakan mahasiswa dapat dilihat terpusat di perguruan tinggi negeri
(PTN) dan kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung saja, akan tetapi reformasi
1998 berhasil mendistribusikan energi kepada mahasiswa di perguruan tinggi
swasta (PTS). Aspirasi yang dimotori mahasiswa UNS yang merupakan mahasiswa PTN
telah menjadi aspirasi oleh mahasiswa di perguruan tinggi nasional (baik PTN
ataupun PTS).
Sebenarnya
menurut penulis sendiri gerakan mahasiswa dalam menggulirkan reformasi 1998
tidak mengenal dikotomi antara mahasiswa PTN atau mahasiswa PTS. Perbedaan
kualitas atau kuantitas juga bukan menjadi permasalahan antara PTN dan PTS. Yang
membuat mereka bersatu ialah kebutuhan sama akan adanya perubahan. Kalau
menurut Prof. Dochak perekat mahasiswa di Indonesia timbul dengan sendirinya
akibat adanya aspirasi yang sama. Aspirasi itu ialah cita-cita yang sama dan
harapan yang sama tentang perubahan. Sebagaimana mahasiswa menyebutnya sebagai
reformasi. Hal itu tentu memiliki semangat yang lebih kuat dibanding dengan
melakukan pendikotomian.
Mengenai
pertanyaan terhadap batas kewajaran gerakan mahasiswa pada waktu itu dimana
kondisinya sudah mulai tidak kondusif, telah terjadi kerusuhan yang berujung
pada bentrok. Menurut Prof. Dochak hal itu masih dalam batas kewajaran, ada dua
faktor yang menyebabkan peristiwa kerusuhan itu. Pertama ialah adanya kejengkelan yang timbul akibat dari proses
yang cukup lama, aksi-aksi telah banyak digelar akan tetapi tetap saja tidak
ada perubahan yang dilakukan pemerintah. Dan yang kedua yakni sikap aparat keamanan dalam hal ini TNI/Polri yang
terlampau represif. Dua alasan tersebut setidaknya menjadi alasan terhadap
kewajaran tadi.
Untuk
alasan pertama, kejengkelan itu merupakan kewajaran. Akibat dari kejenuhan yang
dirasakan oleh mahasiswa dan para demonstran. Kejenuhan terhadap pemerintah
yang tidak kunjung melakuan perubahan terhadap tuntutan yang dibawa mahasiswa.
Dari periode tahun 1997 dimana mulai ada letupan-letupan kecil menolak
kerjasama dengan pemerintah dengan IMF dan respon mahasiswa terhadap krisis
ekonomi. Kemudian gerakan demi gerakan muncul pada tahun 1998, bahkan pada
bulan April-Mei menurut kesaksian Umi dan Taufik yang merupakan aktivis 1998 hampir
setiap hari mahasiswa melakukan aksi turun jalan. Hal itu upaya pemerintah
dalam melakukan perubahan.
Alasan
kedua, sikap represif yang dilakukan aparat keamanan. Sikap represif dari
aparat keamanan menjadi persoalan yang cukup kompleks. Kita tidak bisa langsung
mengambil konklusi bahwa hal itu semata-mata salah aparat keamanan. Ada banyak
kemungkinan penyebab kenapa kemudian tindakan represif itu bisa muncul. Ketika melakukan
aksi demonstrasi emosi terus berkembang baik oleh para demonstran dalam hal ini
mahasiswa atau pihak aparat itu sendiri. Emosi itu lama-lama mengalami
peningkatan apabila diantara salah keduanya tidak bisa memenejemen emosinya
maka yang terjadi adalah ledakan emosi.
Ledakan
emosi tadi yang biasanya membuat terjadinya bentrok. Hal itu dikarenakan
masing-masing pihak merasa benar. Keegoisan itu yang sebenarnya menjadi
persoalan. Emosi yang semakin meningkat menurut Prof. Dochak juga berpotensi
munculnya persoalan-persoalan baru terkait sentiman ras, kelas sosial dan
sebagainya. Sehingga tentu ketika terjadi kerusuhan yang ada adalah percampuran
emosi yang tidak seimbang. Aparat keamanan yang mempunyai bekal senjata bahkan
sering menggunakannya dengan salah. Disamping itu seperti yang telah
dikemukakan oleh Kapolda Jateng dan DIY ketika bertemu dengan pimpinan
Perguruan Tinggi se Surakarta dan se Yogyakarta di harian Solo Pos pada 21 April 1998, dia menganggap bahwa inseden bentrokan
yang sering terjadi antara mahasiswa dan aparat itu akibat emosi.
Kemudian
ditanya mengenai larangan terhadap mahasiswa melakukan demonstrasi, Prof. Dochak
tidak sepakat dengan itu. Mahasiswa harus tetap dibiarka menyampaikan aspirasi
mereka. Hal itu juga merupakan bentuk dari demokrasi. Justru yang perlu
melakukan evaluasi adalah lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri. Mereka harus
mampu membuktikan kinerjanya. Apabila lembaga tersebut tidak berfungsi secara efektif
maka akan wajar ketika ada pihak yang melakukan kritik. Demikian yang harus
dipahami bahwa demonstrasi merupakan alat penyampaian aspirasi. Apabila hal
tersebut dilarang maka telah terjadi anti demokrasi.
Dari
artikel tersebut ditutup dengan sebuah pertanyaan tentang peran fungsi media
(pers). Berbicara tentang media sebagai penyebar informasi, menurut Prof.
Dochak media harus bersikap adil dalam pemberitaan. Media harus memberitakan
sesuai dengan peristiwa yang terjadi, atau objektif. Tidak melakukan penambahan
maupun pengurangan dari informasi yang disampaikan. Memang peran media ialah
hal yang sangat penting di dalam sebuah gerakan pembaharuan. Media cetak
misalnya hampir setiap orang diberbagai kelas mampu mengaksesnya. Hal itu yang
menjadi peran vital dari media pers.
Begitu
pula yang terjadi dalam reformasi. Media mempunyai peran yang sangat strategis
dalam peyebaran isue kepada masyarakat. Itulah yang menjadi penyebab kenapa
yang pada awalnya gerakan mahasiswa dalam lingkup Solo kemudian menjadi isue
nasional. Berangkat dari sini dapat dilihat peran strategis itu. Meskipun
terkadang pemberitaan yang muncul seputar bentrok antara mahasiswa dengan
polisi, akan tetapi hal tersebut juga tetap memberikan pengaruh terhadap
mahasiswa dan masyarakat di daerah lain.
Pengaruh
yang ditimbulkan dari pemberitaan media membangun suatu kesadaran kolektif.
Artinya media pers dapat dijadikan alat untuk bagi-bagi energi. Ada kepentingan
bersama, cita-cita bersama yang harus diwujudkan secara bersama-sama. Reformasi
1998 bukan menjadi tuntutan yang hanya berlaku di daerah Solo. Tetapi perubahan
di bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum itu harus dilakukan pada level
pemerintahan pusat yang berarti mencakup nasional. Hal itu menjadi alat untuk
menyampaikan tuntutan reformasi di segala penjuru daerah. Sehingga dari isue
yang hanya digerakkan di Solo, menjadi isue bersama di level nasional.
Sebagai
penutup analisis ini, dari sumber-sumber yang ada mengenai reformasi 1998
terdapat suatu peristiwa yang dapat menjadi pembelajaran bagi masa depan.
Idealisme mahasiswa pada waktu itu masih sangat tinggi, hal tersebut dapat
dilihat secara jelas ketika mahasiswa menolak untuk dialog yang akan
diselenggarakan oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. Mahasiswa pada dasar nya
bukan anti-dialog atau anti untuk bertukar pikiran, akan tetapi idealisme yang
kuat dari mahasiswa yakni agar gerakan mereka tidak menjadi kendarakan politik
bagi pihak yang berkepentingan. Mahasiswa sangat memegang teguh idealisme itu.
Disisi
lain, pada artikel yang berbeda tentang dialog yang dilakukan antara Solo Pos
dengan Rektor UMS Prof. Dochak Latief, memeberikan suatu pengetahuan nyata
tentang reformasi. Pada waktu itu Reformasi 1998 masyarakat menuntut hasil yang
riil. Hampir setiap hari demonstran melakukan unjuk rasa, harta benda bahkan
nyawa hilang. Akan tetapi mereka tetap melakukannya, itu berarti reformasi
dianggap suatu keharusan. Semua elemen yang ada di masyarakat Indonesia
membentuk suatu kesadaran kolektif untuk mewujudkan reformasi 1998 secara riil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar