Rabu, 22 Januari 2014

Gerakan Reformasi 1998, Representasi Idelisme Mahasiswa

Pada tulisan sebelumnya membahas tentang peranan mahasiswa dalam reformasi 1998 di Solo. Penulis berpendapat bahwa secara empiris bisa dibuktikan bahwa gerakan reformasi tahun 1998 di Solo merupakan gerakan mahasiswa. Pada tulisan ini – sebagai lanjutan tulisan sebelumnya – penulis akan membahas sejauh mana peran mahasiswa dalam melakukan gerakan reformasi 1998 di Solo, Yogyakarta dan Lampung yang masing-masing mahasiswa di universitas melakukan gerakan. Serta bagaimana kondisi dan respon mahasiswa dalam tuntutan-tuntutan mereka untuk diadakannya reformasi dalam semua aspek baik sosial, ekonomi dan politik. Tulisan ini disusun berdasarkan data-data yang penulis peroleh dari sumber tulisan. Sumber yang digunakan ialah sumber primer yakni surat kabar sejaman. Dengan sumber berupa surat kabar penulis melakukan analisa terhadap berbagai artikel kemudian disimpulkan menjadi sebuah gagasan baru.
Bulan Maret 1998 terdapat agenda rutin tahunan yang berlangsung pada tanggal 1 sampai 11 Maret 1998. Selama periode itu digunakan untuk Sidang Umum MPR yang membahas tentang penetapan Presiden oleh MPR hasil pemilu dan juga pengesahan RAPBN menjadi APBN. Di surat kabar Solo Pos, 11 Maret 1998 ditulis suatu artikel dengan judul MPR angkat Pak Harto Lagi. Seperti halnya pada pemilihan-pemilihan presiden sebelumnya dilakukan secara mufakat dan pasti memilih dan menetapkan Soeharto sebagai presiden. Tetapi pada tahun 1998 dimana Soeharto ditetapkan sebagai presiden ketujuhkalinya pada periode 1998-2003 mendapat berbagai ancaman. Ancaman tersebut diantaranya krisis ekonomi yang tumbuh mulai tahun 1997.
Soeharto resmi diangkat sebagai Presiden melalui Sidang Paripurna X SU MPR dan mengesahkannya sebagai presiden RI 1998-2003. Pengangkatan Soeharto sebagai presiden diwarnai dengan tepuk tangan oleh anggota MPR serta disambut bahagia oleh kerabat keluarganya. Meskipun demikian tidak lantas persoalan tidak muncul. Justru pengangkatan presiden Soeharto menjadi salah satu pemicu awal bergolaknya mahasiswa. Disamping persoalan krisis ekonomi yang tidak kunjung selesai, ternyata kalangan mahasiswa tidak sepakat dengan pengangkatan tersebut. Sehingga munculah gerakan-gerakan penolakan Soeharto sebagai presiden terpilih.
            Seperti artikel yang telah dimuat Solo Pos 1 April 1998 bahwa mahasiswa Solo, UGM dan UI menolak terselenggaranya dialog. Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh adanya ketidak sepahaman antara pihak penyelanggara dialog yakni panglima ABRI Jendral Wiranto dan Laskar Ampera pimpinan Arif Rahman Hakim. Disini dapat dilihat bahwa mahasiswa pada waktu itu sudah mulai berseberangan dengan pemerintah. Mahasiswa menganggap gerakan pembaharuan yang diusung mereka tidak membutuhkan promotor. Disamping itu dialog yang direncanakan oleh pemerintah pada waktu itu tidak terlebih dahulu dibicarakan kepada mahasiswa. Sehingga timbul kesan antara ABRI dan Laskar Ampera ingin menjadi promotor dari gerakan mahasiswa. Mahasiswa bersikap seperti itu untuk mencegah gerakan mahasiswa ditunggangi oleh pihak yang mempunyai kepentingan praktis.
Di Solo, melalui SMPT UNS (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi UNS) yang merupakan organisasi resmi mahasiswa UNS tidak bersepakat dengan dialog yang akan dilakukan. Menurut artikel tersebut meskipun dari pihak rektorat UNS sendiri melakukan dukungan terhadap terselenggaranya dialog tersebut, mahasiswa UNS lebih memilih untuk tidak menjawab bahkan cenderung untuk menolak dialog itu. Kondisi hampir di semua Perguruan Tinggi pada waktu itu mengalami dinamika akibat tuntutan mahasiswanya terhadap reformasi yang harus dilakukan pemerintah. Begitu pula yang dilakukan oleh mahasiswa UNS.
Disamping mahasiswa UNS yang dimotori oleh SC SMPT, mahasiswa UGM yakni Keluarga Mahasiswa (KM UGM) juga memiliki sikap yang tidak jauh berbeda dengan UNS. Bahkan sikap KM UGM lebih tegas yakni menolak dialog yang diselenggarakan oleh Jendral Wiranto selaku panglima ABRI dan Arif Rahman Hakim dari Yayasan Laskar Ampera. Menurut ketua Senat Mahasiswa UGM Ridaya La Ode Ngkowe bahwa dialog yang dilakukan merupakan dialog secara sepihak. Artinya, dialog yang akan dilakukan tidak terlebih dahulu dibicarakan kepada mahasiswa. Maka dari itu ada anggapan itu sekenario yang telah disiapkan untuk mahasiswa. Ditambah lagi dengan posisi ABRI yang tidak jelas antara sebagai pihak keamanan, perwakilan pemerintah ataukah sebagai penampung aspirasi mahasiswa. Sehingga tidak heran ketika KM UGM menolak ajakan dialog tersebut.
  Dialog yang akan diselenggarakan pada waktu itu menurut dugaan Ridaya selaku ketua senat mahasiswa UGM ialah bagian dari strategi untuk melemahakan mahasiswa. artinya bahwa dialog tersebut merupakan upaya untuk mengkooptasi dan meredam aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa. Dia juga menilai bahwa dialog tersebut hanya untuk menutupi keengganan pemerintah dan ABRI dalam mewujudkan tuntutan mahasiswa untuk mereformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Terdapat memori masa lalu yang muncul. Ada kekhawatiran oleh KM UGM ketika berhadapan dengan ABRI. Kekhawatiran itu yakni peristiwa 66 terulang dimana mahasiswa didekati oleh ABRI untuk menggulingkan orde lama yang kemudian mahasiswa juga ditunggalkan.
Posisi mahasiswa yang sangat sulit mendorong setiap langkah dan sikap mahasiswa haruslah berhati-hati. Terutama jangan sampai kemudian gerakan mahasiswa ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Mahasiswa yang memiliki idealisme sangat tinggi dan keperpihakan terhadap kepentingan masyarakat tidak mau dikotori. Meskipun harus berdialog, mahasiswa mempunyai beberapa syarat. Syarat itu ialah pertama, adanya kesetaran dan kebebasan dalam dialog. Artinya dalam dialog mahasiswa diberi kesetaran dengan pemerintah atau  lawan dialog. Disamping itu mahasiswa harus diberi kebebasan dalam mengemukakan pendapat, gagasan atau bahkan tuntutan-tuntutan.
Kedua, dialog haruslah bersifat terbuka, trasparan dan melibatkan banyak komponen mahasiswa. Artinya mahasiswa menuntut adanya keterbukaan dalam penyampaian aspirasi mereka. Tidak lagi dinding pembatas dari segala aspirasi dan uneg-uneg yang akan disampaikan mahasiswa. Dan yang ketiga, dalam dialog untuk penjaringan aspirasi yang terpenting adalah bagaimana kemudian aspirasi itu diwujudkan. Artinya, aspirasi yang didapatkan melalui dialog tersebut bukan hanya sebatas ditampung sebagai arsip, melainkan juga diwujudkan, dilaksanakan. Disamping tiga syarat tersebut, mahasiswa menuntut adanya figur-figur yang tidak cacat sosial dan komitmen terhadap demokrasi.
Senat Mahasiswa UI yang diketuai oleh Rama, mengungkapkan dan bersikap yang sama dengan SC SMPT UNS dan KM UGM yang menolak rencana dialog yang dimotori oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. SMUI beranggapan sama yakni tidak pernah terjadi pembicaraan terlebih dahulu tentang adanya dialog. Disamping itu dialog tersebut ditengarai memiliki kepentingan tertentu. Bagi SMUI sendiri, sikap penolakan terhadap dialog bukanlah sikap anti dialog dan bertukar pikiran. Melainkan atas dasar ketidakmauan mereka ketika gerakan mahasiswa dimotori oleh pihak tertentu. Mahasiswa memiliki komitmen tersendiri untuk kepentingan rakyat.
Disamping itu mahasiswa UI juga berharap bahwa dalam melakukan dialog harus ada mekanisme yang adil dan trasparan. Sama halnya dengan mahasiswa dari KM UGM, mahasiswa UI juga menuntut keterbukaan dan transparasi dalam dialog. Transparasi ketika melakukan dialog menjadi penting untuk menciptakan kualitas dialog yang baik terhadap output atau hasil dari dialog tersebut. Disamping itu dialog harus memberikan posisi adil, artinya semua memiliki perannya sendiri. Sehingga didalam dialog tidak memerlukan adanya mediator atau perantara dari siapa pun. Hal itu mencegah terjadinya keperpihakan kepada pihak tertentu yang mempengaruhi asas keadilan dan keterbukaan terhadap dialog itu sendiri.
Di lain pihak artikel yang keluar di media sama yakni Solo Pos tertanggal 2 April 1998 dengan judul Mahasiswa tidak sepakat turun ke jalan, disana ditulis bahwa telah terjadi pertemuan antara sejumlah pejabat militer dan pemerintahan di Solo dengan Pembantu Rektor III serta perwakilan mahasiswa di empat universitas. Empat universitas itu antara lain UNS, UNISRI, UMS dan UTP. Pertemuan tersebut membahas tentang upaya untuk meredam aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa. Pertemuan yang diselenggarakan di gedung PLN Cabang Solo itu berhasil menghasilkan kesepakatan antara mahasiswa dan PR III menjamin tidak ada aksi turun jalan oleh mahasiswa.
Pertemuan yang diselenggarakan pada 31 Maret 1998 malam itu menurut Danrem pertemuan tersebut bukan pertemuan yang khusus, baginya pertemuan itu hanyalah pertemuan biasa hanya “ngudi rasa” atau sharing saja. Dari artikel tersebut dapat dilihat upaya aparat keamanan yakni Danrem Kolonel (Inf) Sriyanto mengatasi aksi turun jalan yang dilakukan mahasiswa dengan menggandeng PR III dan beberapa pentolan mahasiswa. Upaya tersebut meskipun dalihnya “ngudi rasa” tetap saja peredaman aksi. Tentu hal tersebut wajar karena memang strategi pencegahan bukan hanya bisa dilakukan dengan kekerasan fisik melainkan juga pertemuan “ngudi rasa”.
Peristiwa mulai berlalu dimana aksi turun jalan bisa dimenejemen dengan dialog. Meskipun ada ajakan dialog yang tidak diterima oleh para mahasiswa. Pada dasarnya mahasiswa dan umumnya masyarakat Indonesia menginginkan reformasi yang riil. Hal tersebut yang setidaknya ingin disampaikan oleh Rektor UMS, Prof. Dochak Latief. Hasil wawancara yang dilakukan oleh pihak Solo Pos kepada Rektor UMS yang ditulis di artikel Solo Pos pada 18 Mei 1998. Artikel tersebut mengungkapkan bagaimana peran istitusi perguruan tinggi swasta terhadap gulirnya reformasi 1998. Antara mahasiswa, demonstrasi dan kekekerasan atau kerusuhan yang terjadi merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari reformasi itu sendiri.
Maraknya aksi yang dilakukan oleh mahasiswa terutama yang disoroti ialah mahasiswa dari perguruan tinggi swasta bagi Prof. Dochak justru mengindikasikan adanya pemerataan kualitas dari perguruan tinggi di Indonesia. Pada dekade sebelumnya dimana pergerakan mahasiswa dapat dilihat terpusat di perguruan tinggi negeri (PTN) dan kota-kota besar seperti Jakarta atau Bandung saja, akan tetapi reformasi 1998 berhasil mendistribusikan energi kepada mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS). Aspirasi yang dimotori mahasiswa UNS yang merupakan mahasiswa PTN telah menjadi aspirasi oleh mahasiswa di perguruan tinggi nasional (baik PTN ataupun PTS).
Sebenarnya menurut penulis sendiri gerakan mahasiswa dalam menggulirkan reformasi 1998 tidak mengenal dikotomi antara mahasiswa PTN atau mahasiswa PTS. Perbedaan kualitas atau kuantitas juga bukan menjadi permasalahan antara PTN dan PTS. Yang membuat mereka bersatu ialah kebutuhan sama akan adanya perubahan. Kalau menurut Prof. Dochak perekat mahasiswa di Indonesia timbul dengan sendirinya akibat adanya aspirasi yang sama. Aspirasi itu ialah cita-cita yang sama dan harapan yang sama tentang perubahan. Sebagaimana mahasiswa menyebutnya sebagai reformasi. Hal itu tentu memiliki semangat yang lebih kuat dibanding dengan melakukan pendikotomian.
Mengenai pertanyaan terhadap batas kewajaran gerakan mahasiswa pada waktu itu dimana kondisinya sudah mulai tidak kondusif, telah terjadi kerusuhan yang berujung pada bentrok. Menurut Prof. Dochak hal itu masih dalam batas kewajaran, ada dua faktor yang menyebabkan peristiwa kerusuhan itu. Pertama ialah adanya kejengkelan yang timbul akibat dari proses yang cukup lama, aksi-aksi telah banyak digelar akan tetapi tetap saja tidak ada perubahan yang dilakukan pemerintah. Dan yang kedua yakni sikap aparat keamanan dalam hal ini TNI/Polri yang terlampau represif. Dua alasan tersebut setidaknya menjadi alasan terhadap kewajaran tadi.
Untuk alasan pertama, kejengkelan itu merupakan kewajaran. Akibat dari kejenuhan yang dirasakan oleh mahasiswa dan para demonstran. Kejenuhan terhadap pemerintah yang tidak kunjung melakuan perubahan terhadap tuntutan yang dibawa mahasiswa. Dari periode tahun 1997 dimana mulai ada letupan-letupan kecil menolak kerjasama dengan pemerintah dengan IMF dan respon mahasiswa terhadap krisis ekonomi. Kemudian gerakan demi gerakan muncul pada tahun 1998, bahkan pada bulan April-Mei menurut kesaksian Umi dan Taufik yang merupakan aktivis 1998 hampir setiap hari mahasiswa melakukan aksi turun jalan. Hal itu upaya pemerintah dalam melakukan perubahan.
Alasan kedua, sikap represif yang dilakukan aparat keamanan. Sikap represif dari aparat keamanan menjadi persoalan yang cukup kompleks. Kita tidak bisa langsung mengambil konklusi bahwa hal itu semata-mata salah aparat keamanan. Ada banyak kemungkinan penyebab kenapa kemudian tindakan represif itu bisa muncul. Ketika melakukan aksi demonstrasi emosi terus berkembang baik oleh para demonstran dalam hal ini mahasiswa atau pihak aparat itu sendiri. Emosi itu lama-lama mengalami peningkatan apabila diantara salah keduanya tidak bisa memenejemen emosinya maka yang terjadi adalah ledakan emosi.
Ledakan emosi tadi yang biasanya membuat terjadinya bentrok. Hal itu dikarenakan masing-masing pihak merasa benar. Keegoisan itu yang sebenarnya menjadi persoalan. Emosi yang semakin meningkat menurut Prof. Dochak juga berpotensi munculnya persoalan-persoalan baru terkait sentiman ras, kelas sosial dan sebagainya. Sehingga tentu ketika terjadi kerusuhan yang ada adalah percampuran emosi yang tidak seimbang. Aparat keamanan yang mempunyai bekal senjata bahkan sering menggunakannya dengan salah. Disamping itu seperti yang telah dikemukakan oleh Kapolda Jateng dan DIY ketika bertemu dengan pimpinan Perguruan Tinggi se Surakarta dan se Yogyakarta di harian Solo Pos pada 21 April 1998, dia menganggap bahwa inseden bentrokan yang sering terjadi antara mahasiswa dan aparat itu akibat emosi.
Kemudian ditanya mengenai larangan terhadap mahasiswa melakukan demonstrasi, Prof. Dochak tidak sepakat dengan itu. Mahasiswa harus tetap dibiarka menyampaikan aspirasi mereka. Hal itu juga merupakan bentuk dari demokrasi. Justru yang perlu melakukan evaluasi adalah lembaga-lembaga demokrasi itu sendiri. Mereka harus mampu membuktikan kinerjanya. Apabila lembaga tersebut tidak berfungsi secara efektif maka akan wajar ketika ada pihak yang melakukan kritik. Demikian yang harus dipahami bahwa demonstrasi merupakan alat penyampaian aspirasi. Apabila hal tersebut dilarang maka telah terjadi anti demokrasi.
Dari artikel tersebut ditutup dengan sebuah pertanyaan tentang peran fungsi media (pers). Berbicara tentang media sebagai penyebar informasi, menurut Prof. Dochak media harus bersikap adil dalam pemberitaan. Media harus memberitakan sesuai dengan peristiwa yang terjadi, atau objektif. Tidak melakukan penambahan maupun pengurangan dari informasi yang disampaikan. Memang peran media ialah hal yang sangat penting di dalam sebuah gerakan pembaharuan. Media cetak misalnya hampir setiap orang diberbagai kelas mampu mengaksesnya. Hal itu yang menjadi peran vital dari media pers.
Begitu pula yang terjadi dalam reformasi. Media mempunyai peran yang sangat strategis dalam peyebaran isue kepada masyarakat. Itulah yang menjadi penyebab kenapa yang pada awalnya gerakan mahasiswa dalam lingkup Solo kemudian menjadi isue nasional. Berangkat dari sini dapat dilihat peran strategis itu. Meskipun terkadang pemberitaan yang muncul seputar bentrok antara mahasiswa dengan polisi, akan tetapi hal tersebut juga tetap memberikan pengaruh terhadap mahasiswa dan masyarakat di daerah lain.
Pengaruh yang ditimbulkan dari pemberitaan media membangun suatu kesadaran kolektif. Artinya media pers dapat dijadikan alat untuk bagi-bagi energi. Ada kepentingan bersama, cita-cita bersama yang harus diwujudkan secara bersama-sama. Reformasi 1998 bukan menjadi tuntutan yang hanya berlaku di daerah Solo. Tetapi perubahan di bidang sosial, ekonomi, politik dan hukum itu harus dilakukan pada level pemerintahan pusat yang berarti mencakup nasional. Hal itu menjadi alat untuk menyampaikan tuntutan reformasi di segala penjuru daerah. Sehingga dari isue yang hanya digerakkan di Solo, menjadi isue bersama di level nasional.
Sebagai penutup analisis ini, dari sumber-sumber yang ada mengenai reformasi 1998 terdapat suatu peristiwa yang dapat menjadi pembelajaran bagi masa depan. Idealisme mahasiswa pada waktu itu masih sangat tinggi, hal tersebut dapat dilihat secara jelas ketika mahasiswa menolak untuk dialog yang akan diselenggarakan oleh ABRI dan Yayasan Laskar Ampera. Mahasiswa pada dasar nya bukan anti-dialog atau anti untuk bertukar pikiran, akan tetapi idealisme yang kuat dari mahasiswa yakni agar gerakan mereka tidak menjadi kendarakan politik bagi pihak yang berkepentingan. Mahasiswa sangat memegang teguh idealisme itu.

Disisi lain, pada artikel yang berbeda tentang dialog yang dilakukan antara Solo Pos dengan Rektor UMS Prof. Dochak Latief, memeberikan suatu pengetahuan nyata tentang reformasi. Pada waktu itu Reformasi 1998 masyarakat menuntut hasil yang riil. Hampir setiap hari demonstran melakukan unjuk rasa, harta benda bahkan nyawa hilang. Akan tetapi mereka tetap melakukannya, itu berarti reformasi dianggap suatu keharusan. Semua elemen yang ada di masyarakat Indonesia membentuk suatu kesadaran kolektif untuk mewujudkan reformasi 1998 secara riil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar