Kemarin saya mengikuti diskusi mahasiswa dan perguruan
tinggi di daerah belakang kampus. Diskusi itu mengangkat tema tentang realitas civitas kampus di era sekarang. Perilaku
pragmatis dan apatis yang menjalar civitas
kampus tak kecuali mahasiswa, menjadi bahan diskusi yang sangat menarik.
Berbagai pertanyaan muncul tentang peyebab, dampak dan lain-lain yang terjadi
dari perilaku pragmatis dan apatis. Tentu banyak hal-hal yang saya dapatkan
dari diskusi itu. Berikut ini hanyalah sedikit catatanya.
Berangkat dari istilah universitas, universitas berasal dari
kata Universe yang berarti seluruh
bidang. Universe dapat dipahami bahwa
universitas merupakan lembaga yang di dalamnya terdapat banyak displin ilmu.
Berbagai disiplin ilmu itu secara keseluruhan digunakan sebagai kemaslahatan
manusia. Secara universal sebuah perguruan tinggi memiliki civitas kampus yang terdiri dari birokrat kampus (rektor dan
sebagainya), dosen dan mahasiswa, kesemuanya merupakan bagian dari universitas.
Universitas sebagai lembaga yang memproduksi orang-orang
dari berbagai latar belakang disiplin ilmu memiliki peran besar dalam pembangunan.
Tri Dharma perguruan tinggi mencakup tiga aspek yakni pendidikan pengajaran,
penelitian dan pengabdian masyarakat. Secara filosofis ketiga aspek tersebut
menjadi dasar pijakan universitas dalam melakukan pembangunan. Masing-masing
merupakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan civitas kampus sebagai masyarakat akademik universitas.
Realiatas hari ini, tidak sedikit masyarakat kampus yang
tidak sadar akan peran dan fungsinya sebagai aktor pembangunan. Barangkali
masih sebatas tahu, belum sadar apalagi bertindak yang tentu hal ini menjadi
permasalahan. Telah terjangkitnya perilaku apatis dan pragmatis menjadi faktor
penyebab ketidaksadaran itu. Sebagai contoh misalnya dosen hanya sebatas
melakukan pengajaran, mahasiswa hanya sebatas kuliah. Bukan berarti hal tersebut
salah akan tetapi keseimbangan sosial juga harus diperhatikan. Kondisi sosial
masyarakat harus dilihat secara sadar untuk dapat melakukan pembangunan.
Dalam proses pembangunan, pendidikan ialah hal yang
berpengaruh sangat besar. Berbicara dari sudut pandang historis pendidikan di
Indonesia ialah pendidikan yang dibangun pemerintah kolonial. Pada abad 19
seorang warga Belanda bernama Van Deventer melakukan kritik atas pemerintahan di
Hindia Belanda yang telah mengambil sumber daya alam dan melakukan penindasan
yang berakibat menderitanya masyarakat Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial
harus melakuan balas budi terhadap masyarakat pribumi yang sangat menderita
akibat eksploitasi secara besar-besaran.
Menanggapi kitik yang dilontarkan Van Deventer, pemerintah kolonial
memiliki inisiasi dengan mengeluarkan kebijakan politik etis atau politik balas
budi. Kebijakan kolonial kolonial itu salah satunya ialah di bidang pendidikan.
Pemerintah kolonial memberikan akses terhadap masyarakat pribumi untuk
mengenyam pendidikan. Sekolah-sekolah mulai dibuka untuk kaum pribumi bahkan
orang pribumi dapat melanjutkan studinya sampai jenjang pendidikan tinggi di
negeri Belanda.
Namun, kebijakan politik kolonial yang kelihatan manis itu
ternyata memiliki maksud lain. Orang-orang pribumi yang dapat bersekolah pada
waktu itu berasal dari golongan bangsawan. Selain itu desain orang yang telah
mengenyam pendidikan, mereka akan digunakan untuk menjadi tenaga-tenaga
administratif pemerintah kolonial. Mereka dipekerjakan dengan pertimbangan
kalau pemerintah kolonial harus mendatangkan para pekerja dari Belanda berarti
akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk gaji apalagi pekerja tersebut
telah mempunyai keluarga, pemerintah kolonial juga harus menanggungnya. Maka
dari itu pemerintah kolonial dengan politik etisnya mendapatkan pekerja-pekerja
murah dari masyarakat pribumi.
Itulah sistem pendidikan yang terjadi dua abad lalu di
Indonesia. Pendidikan yang seharusnya menjadikan manusia lebih merdeka dan
sadar, akan tetapi justru membuat manusia menjadi benda tak hidup seperti layaknya
sebuah robot. Beralih ke sistem pendidikan Indonesia di era saat ini. Tidak
sedikit mahasiswa mengenyam pendidikan hanya sebatas menyelesaikan jenjang
pendidikan. Setelah itu lulus lalu melamar pekerjaan untuk meningkatkan
kuantitas ekonominya. Keberhasilan pendidikan yang ditempuhnya hanya dinikmati
sendiri. Dengan demikian apa bedanya pendidikan abad 19 dengan pendidikan abad
21? Bukankah sama-sama mencetak robot?
Pendidikan ialah mencerahkan, membebaskan dari kebodohan dan
memerdekaan orang untuk hidup sempurna. Sikap kritis dan kepekaan terhadap
lingkungan sosial menjadi salah satu indikator keberhasilan sebuah pendidikan.
Manusia akan terus terbelakang apabila tidak kritis, secara sosial manusia
tidak akan berkembang apabila tidak memiliki kepekaan. Apalagi sebagai manusia
yang berpendidikan, keilmuan yang dimiliki harus dipertanggung jawabkan dengan
cara mengimplementasikannya.
Civitas kampus yang apatis dan pragmatis dibentuk dari sistem
pendidikan yang keliru. Pemahaman saya mengenai apatis ialah suatu sikap acuh
atau masa bodoh, sedang pragmatis ialah suatu sikap yang hanya mengutamahan
nilai kepraktisan. Dari dua pemahaman tersebut saya berpendapat bahwa sikap
apatis dan pragmatis itu ialah sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh civitas kampus. Apatis misalnya, civitas kampus termasuk didalamnya
mahasiswa yang secara ideal diidentifikasikan sebagai aktor intelektual dalam
melakukan perubahan, ketika bersikap acuh maka yang terjadi ialah pembiaran
terhadap kerusakan. Sehingga peran dan tanggungjawabnya tidak dipenuhi.
Pragmatis, suatu sikap yang orientasinya hanya “cari enaknya
saja” hal itu akan menuntut segala sesuatu yang dilakukan menjadi instan (siap
saji) dan terkadang dilakukan tidak sesuai dengan seharusnya. Sebenarnya “nilai
praktis” bukan suatu nilai yang salah. Namun ketika kepraktisan menjadi
orientasi maka yang terjadi ialah hasil lebih penting dibanding dengan proses.
Teori menghalalkan berbagai cara akan dipakai. Itulah yang kemudian sikap
pragmatis itu menjadi sikap yang berlawanan dengan idealisme yang harus
dimiliki oleh civitas kampus.
Fenomena dimana dosen hanya sibuk dengan proyek, mahasiswa
hanya sibuk dengan tugas kuliah dan IPK cumlaude tanpa ada keseimbangan sosial
maka hal itu menjadi salah satu gejala akut civitas
kampus yang apatis dan pragmatis. Memang fenomena ini timbul bukan secara
tiba-tiba. Ibarat pepatah, gak ada asap
kalau gak ada api, apatis dan pragmatis pasti ada penyebabnya. Penyebab
utamanya ialah tidak adanya kesadaran dan kepekaan sosial. Absentnya dua hal ini berkat sistem pendidikan yang tidak
memerdekaan, artinya tidak membebaskan dari belenggu kebodohan.
Sikap apatis dan pragmatis yang terus menjalar dikehidupan
kampus akan membuat kampus kehilangan ruhnya. Civitas kampus di universitas seharusnya dicetak menjadi
orang-orang yang memiliki kesadaran tentang peran, tanggungjawabnya baik secara
keilmuaan maupun sosial masyarakat. Dengan demikian apabila universitas bisa
membangun kesadaran itu maka akan tercipta kemaslahatan suatu bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar