Rabu, 22 Januari 2014

Gejala Akut Civitas Kampus yang Apatis dan Pragmatis

Kemarin saya mengikuti diskusi mahasiswa dan perguruan tinggi di daerah belakang kampus. Diskusi itu mengangkat tema tentang realitas civitas kampus di era sekarang. Perilaku pragmatis dan apatis yang menjalar civitas kampus tak kecuali mahasiswa, menjadi bahan diskusi yang sangat menarik. Berbagai pertanyaan muncul tentang peyebab, dampak dan lain-lain yang terjadi dari perilaku pragmatis dan apatis. Tentu banyak hal-hal yang saya dapatkan dari diskusi itu. Berikut ini hanyalah sedikit catatanya.
Berangkat dari istilah universitas, universitas berasal dari kata Universe yang berarti seluruh bidang. Universe dapat dipahami bahwa universitas merupakan lembaga yang di dalamnya terdapat banyak displin ilmu. Berbagai disiplin ilmu itu secara keseluruhan digunakan sebagai kemaslahatan manusia. Secara universal sebuah perguruan tinggi memiliki civitas kampus yang terdiri dari birokrat kampus (rektor dan sebagainya), dosen dan mahasiswa, kesemuanya merupakan bagian dari universitas.
Universitas sebagai lembaga yang memproduksi orang-orang dari berbagai latar belakang disiplin ilmu memiliki peran besar dalam pembangunan. Tri Dharma perguruan tinggi mencakup tiga aspek yakni pendidikan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Secara filosofis ketiga aspek tersebut menjadi dasar pijakan universitas dalam melakukan pembangunan. Masing-masing merupakan tahapan-tahapan yang harus dilaksanakan civitas kampus sebagai masyarakat akademik universitas.
Realiatas hari ini, tidak sedikit masyarakat kampus yang tidak sadar akan peran dan fungsinya sebagai aktor pembangunan. Barangkali masih sebatas tahu, belum sadar apalagi bertindak yang tentu hal ini menjadi permasalahan. Telah terjangkitnya perilaku apatis dan pragmatis menjadi faktor penyebab ketidaksadaran itu. Sebagai contoh misalnya dosen hanya sebatas melakukan pengajaran, mahasiswa hanya sebatas kuliah. Bukan berarti hal tersebut salah akan tetapi keseimbangan sosial juga harus diperhatikan. Kondisi sosial masyarakat harus dilihat secara sadar untuk dapat melakukan pembangunan.
Dalam proses pembangunan, pendidikan ialah hal yang berpengaruh sangat besar. Berbicara dari sudut pandang historis pendidikan di Indonesia ialah pendidikan yang dibangun pemerintah kolonial. Pada abad 19 seorang warga Belanda bernama Van Deventer melakukan kritik atas pemerintahan di Hindia Belanda yang telah mengambil sumber daya alam dan melakukan penindasan yang berakibat menderitanya masyarakat Hindia Belanda. Pemerintahan kolonial harus melakuan balas budi terhadap masyarakat pribumi yang sangat menderita akibat eksploitasi secara besar-besaran.
Menanggapi kitik yang dilontarkan Van Deventer, pemerintah kolonial memiliki inisiasi dengan mengeluarkan kebijakan politik etis atau politik balas budi. Kebijakan kolonial kolonial itu salah satunya ialah di bidang pendidikan. Pemerintah kolonial memberikan akses terhadap masyarakat pribumi untuk mengenyam pendidikan. Sekolah-sekolah mulai dibuka untuk kaum pribumi bahkan orang pribumi dapat melanjutkan studinya sampai jenjang pendidikan tinggi di negeri Belanda.
Namun, kebijakan politik kolonial yang kelihatan manis itu ternyata memiliki maksud lain. Orang-orang pribumi yang dapat bersekolah pada waktu itu berasal dari golongan bangsawan. Selain itu desain orang yang telah mengenyam pendidikan, mereka akan digunakan untuk menjadi tenaga-tenaga administratif pemerintah kolonial. Mereka dipekerjakan dengan pertimbangan kalau pemerintah kolonial harus mendatangkan para pekerja dari Belanda berarti akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk gaji apalagi pekerja tersebut telah mempunyai keluarga, pemerintah kolonial juga harus menanggungnya. Maka dari itu pemerintah kolonial dengan politik etisnya mendapatkan pekerja-pekerja murah dari masyarakat pribumi.
Itulah sistem pendidikan yang terjadi dua abad lalu di Indonesia. Pendidikan yang seharusnya menjadikan manusia lebih merdeka dan sadar, akan tetapi justru membuat manusia menjadi benda tak hidup seperti layaknya sebuah robot. Beralih ke sistem pendidikan Indonesia di era saat ini. Tidak sedikit mahasiswa mengenyam pendidikan hanya sebatas menyelesaikan jenjang pendidikan. Setelah itu lulus lalu melamar pekerjaan untuk meningkatkan kuantitas ekonominya. Keberhasilan pendidikan yang ditempuhnya hanya dinikmati sendiri. Dengan demikian apa bedanya pendidikan abad 19 dengan pendidikan abad 21? Bukankah sama-sama mencetak robot?
Pendidikan ialah mencerahkan, membebaskan dari kebodohan dan memerdekaan orang untuk hidup sempurna. Sikap kritis dan kepekaan terhadap lingkungan sosial menjadi salah satu indikator keberhasilan sebuah pendidikan. Manusia akan terus terbelakang apabila tidak kritis, secara sosial manusia tidak akan berkembang apabila tidak memiliki kepekaan. Apalagi sebagai manusia yang berpendidikan, keilmuan yang dimiliki harus dipertanggung jawabkan dengan cara mengimplementasikannya.
Civitas kampus yang apatis dan pragmatis dibentuk dari sistem pendidikan yang keliru. Pemahaman saya mengenai apatis ialah suatu sikap acuh atau masa bodoh, sedang pragmatis ialah suatu sikap yang hanya mengutamahan nilai kepraktisan. Dari dua pemahaman tersebut saya berpendapat bahwa sikap apatis dan pragmatis itu ialah sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh civitas kampus. Apatis misalnya, civitas kampus termasuk didalamnya mahasiswa yang secara ideal diidentifikasikan sebagai aktor intelektual dalam melakukan perubahan, ketika bersikap acuh maka yang terjadi ialah pembiaran terhadap kerusakan. Sehingga peran dan tanggungjawabnya tidak dipenuhi.
Pragmatis, suatu sikap yang orientasinya hanya “cari enaknya saja” hal itu akan menuntut segala sesuatu yang dilakukan menjadi instan (siap saji) dan terkadang dilakukan tidak sesuai dengan seharusnya. Sebenarnya “nilai praktis” bukan suatu nilai yang salah. Namun ketika kepraktisan menjadi orientasi maka yang terjadi ialah hasil lebih penting dibanding dengan proses. Teori menghalalkan berbagai cara akan dipakai. Itulah yang kemudian sikap pragmatis itu menjadi sikap yang berlawanan dengan idealisme yang harus dimiliki oleh civitas kampus.
Fenomena dimana dosen hanya sibuk dengan proyek, mahasiswa hanya sibuk dengan tugas kuliah dan IPK cumlaude tanpa ada keseimbangan sosial maka hal itu menjadi salah satu gejala akut civitas kampus yang apatis dan pragmatis. Memang fenomena ini timbul bukan secara tiba-tiba. Ibarat pepatah, gak ada asap kalau gak ada api, apatis dan pragmatis pasti ada penyebabnya. Penyebab utamanya ialah tidak adanya kesadaran dan kepekaan sosial. Absentnya dua hal ini berkat sistem pendidikan yang tidak memerdekaan, artinya tidak membebaskan dari belenggu kebodohan.

Sikap apatis dan pragmatis yang terus menjalar dikehidupan kampus akan membuat kampus kehilangan ruhnya. Civitas kampus di universitas seharusnya dicetak menjadi orang-orang yang memiliki kesadaran tentang peran, tanggungjawabnya baik secara keilmuaan maupun sosial masyarakat. Dengan demikian apabila universitas bisa membangun kesadaran itu maka akan tercipta kemaslahatan suatu bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar