Kamis, 26 Juni 2014

Militer Dalam Politik : Kudeta dan Pemerintahan



IDENTITAS BUKU
Judul Buku               : Militer Dalam Politik : Kudeta dan Pemerintahan. Judul Asli (Soldiers in Politics)
Penulis                       : Eric A Nordlinger
Penerjemah               : Drs. Sahat Simamora
Penerbit                     : PT Rineka Cipta
Cetakan                     : 1990
Tebal                          : 298 halaman
            

Review
Eric Nordlinger menulis buku Militer Dalam Politik ini dengan menggunakan penjelasan yang bersifat deskriptif dan uraiannya yang bersifat umum, artinya buku ini ditulis menjadi sebuah teori mengenai militer dan politik dalam hubungannya dengan sebagian besar kasus-kasus yang terjadi dalam kudeta militer, pemerintahan dan rejim. Kajian yang digunakan Eric dalam menulis buku ini dengan mengambil pretorian. Pretorian ialah suatu kondisi dimana tentara tampil sebagai aktor utama yang sangat dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka. Istilah ini dipakai dari salah satu kasus kudeta yang terkenal dari kerajaan Roma (hlm. 5-6). Bahasa mudahnya, pretorian ialah campur tangan militer dalam politik atau pemerintahan. Sehingga titik tekan penjelasan di buku ini sebenarnya lebih besar pada prajurit sebagai pemerintah daripada sebagai motor penggerak kudeta.
Dalam bab pertama, Eric memberikan penjelasan mengenai campur tangan militer dengan memberikan klasifikasi atau bentuk pemerintahan sipil. Menurut Eric, terdapat tiga bentuk model penguasaan sipil yang menonjol, yakni model pemerintahan sipil tradisional, model pemerintahan sipil liberal, dan model pemerintahan sipil serapan. Namun menurut dia dari ketiga model itu tidak ada satupun yang dapat dirujuk dan dapat menjelasakan benar-benar pemerinthan sipil, hal itu dikarenakan kesemuanya pasti terdapat campur tangan militer. Kemudian di bab yang sama, Eric menjelaskan tentang tipologi mengenai pretorianisme perwira, yakni sebuah pembagian berdasarkan tingkat campur tangan militer atau tingkat sejauh mana militer berkuasa dalam pemerintahan dan keinginan mencapai tujuan di bidang ekonomi dan politik. Dua indikator tersebut yang digunakan Eric untuk mengklasifikasi tipologi Pretorian menjadi tiga, yakni tipe moderator, tipe pengawal dan tipe pemerintah atau penguasa. Paling tidak yang akan disampaikan Eric dari bab ini ialah bahwa dua rejim militer dan sipil sebenarnya kesemuanya tidak sepenuhnya dikuasai baik oleh militer ataupun sipil. Merekan tidak menguasai pemerintahan secara mutlak, karena antara rejim sipil dan militer akan saling membutuhkan. Dicontohkan misalnya di Syiria dan Thailand kedua  negara ini salah dua dari rejim yang  pemerintahannya campuran dari sipil dan militer. Thailand dengan militernya yang sangat berkuasa dan Syria yang tentaranya telah berkerjasama dengan sipil yakni partai politik haluan sosialis-nasioanalis. Dibagian akhir dari bab ini, bahwa perbedaan mendasar antara rejim militer dan sipil ialah rejim militer kekuasaannya diperoleh dari kudeta sehingga perwira aktif menjadi kunci untuk mempertahankan kekuasaan itu, meskipun orang sipil juga memiliki peranan.
Di bab kedua buku ini Eric menguraikan tentang ciri-ciri sosiologi perwira militer yang mempunyai pengaruh penting bagi pretorian. Eric menggunakan banyak variabel dalam untuk mengetahui tingkah laku pretorian. Meskipun demikian, Eric tidak bermaksud untuk menjabarkan pretorian berdasar hanya pada faktor sosiologi. Namun dia akan mengakaitkan dengan faktor politik sebagai analisa terhadap pretorian secara lebih mendalam. Menurutnya, perwira militer yang ada sekarang berasal dari golongan menengah. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap perlindungan militer kepada golongan kelas menengah dan juga dalam masyarakat tertentu pretorianisme ini memberi keuntungan besar bagi kelas menegah, kerugian bagi kelas bawah. Eric berpendapat bahwa militer dari golongan menengah menghasilkan model tentara modern progresif. Model ini terlihat dari sikap politik dan ekonomi yang progresif. Bila dibandingkan dengan golongan elite yang jauh lebih unggul di dalam hal kedudukan politik dan ekonomi hal ini yang seringkali membuat militer dari golongan menengah kebawah melakukan campur tangan.
 Kemudian, terkait dengan identitas kesukuan yang berbeda dari latar belakang para perwira militer, Eric memberikan model tentara nasionalis sekuler. Model ini dijelaskan bahwa dengan pengalaman sosialisasi, materi pendidikan dan latihan militer yang seragam, menghasilkan pemahaman tentang nasionalis dan kesatuan (korps). Disamping itu pertimbangan dalam melakukan kenaikan pangkat misalanya, tidak pernah berdasar kesukuan melainkan kemampuan. Karena apabila terjadi diskriminasi, maka akan merangsang terjadinya kudeta seperti yang dilakukan mayor-mayor keturunan suku Ibo di Negeria tahun 1966. Sehingga kecenderungan perpecahan militer akibat kesukuan berbeda menjadi sedikit.
Sebagai organisasi, sifat dan ciri-ciri birokratis yang ada di militer juga nampak misalnya struktur yang hierarkis. Yang menarik ialah meskipun demikian kesetian kepada atasan tidak langsung berdampak positif kepada bawahan dalam konteks melakukan kudeta. Bisa jadi antara elite dan menengah kebawah mempunyai pandangan yang berbeda. Di dalam bab ini juga membahas militer sebagai golongan profesional. Profesionalitas militer itu dipersiapkan untuk terjun dalam masyarakat, meskipun dalam prakteknya seringkali mempunyai tafsir yang berbeda. Pendidikan tentang budaya, masyarakat, sosial dan ekonomi diajarkan guna mendukung profesionalisme militer. Namun dengan pemahaman normatif serta kepakaran dan profesionalitas yang mereka punyai hal itu menjadi alasan untuk melakukan campur tangan atau intervensi terhadap pemerintahan. Tetapi Eric menambahkan, yang paling penting yang menyangkut peran penting sipil ialah bagaimana sipil tidak melakukan intervensi juga terhadap ekslusifitas dan otonomi dari militer. Mengenai sikap politik militer Eric menguraikan bentuk otoriterisme yang akan diambil militer di dalam pemerintahannya. Hal tersebut dipengaruhi faktor-faktor yang ditulis diatas.
Pada bab ketiga dari buku ini, membahs tentang keterlibatan atau campur tangan militer serta kudeta yang dilakukannya. Eric mencoba menelusuri akar dari kudeta yang dilakukan militer, mengenai sebab-sebab dan motivasi militer dalam melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Eric berangkat dari alasan militer melakukan kudeta akibat kegagalan pemerintahan sipil dalam bernegara, penjagaan stabilitas politik dan ekonomi. Disamping itu, Eric juga mengendus motivasi militer untuk melakukan kudeta bukan hanya karena kegagalan pemerintahan sipil melainkan juga upaya melindungi korporat militer. Dengan dalih bahwa martabat nasional, kedaulatan dan kekuasaan terletak ditangan angkatan senjata, maka kudeta menjadi salah satu bagian dari tugas militer sebagai abdi negara dalam rangka untuk kepentingan negara. Disamping itu kekhawatiran tentang posisi militer dalam hal promosi jabatan dan kekuasaan politik juga dapat memicu aksi kudeta, terlebih jika terdapat intervensi sipil dalam menentukan kriteria-kriteria tersebut.
Diantara rangkaian kudeta di tahun 1912-1964 terdapat dua pola yang menonjol. Pertama, ketika pemerintahan sipil akan menurunkan anggaran belanja militer, seperti kudeta yang terjadi di Peru. Kedua, kebalikan pertama apabila pemerintahan sipil menaikkan anggran belanja, hal itu juga bisa merangsang terjadinya kudeta seperti yang terjadi di Amerika Latin, seperti juga Chile tahun 1973 dan beberapa negara non barat lainnya. Dari sini Eric berpandangan bahwa besar kecilnya anggaran untuk militer akan menentukan sikap dalam konteks kudeta terhadap pemerintahan sipil. Banyak diantara kudeta yang terjadi akibat adanya benturan antara keinginan perwira militer untuk mendapatkan alokasi anggran dengan ketidakmampuan negara mewujudkan keinginan tersebut. 
Disamping mengenai anggaran, hal yang menjadi perhatian serius bagi militer ialah eksistensi kelas bawah, apalagi apabila kelas bawah sudah mempunyai kesadaran. Ada kekahwatiran militer yang dalam hal ini merupakan kelas menengah. Kasus yang terjadi tahun 1935-1964 misalnya Amerika Latin dengan jumlah kelas menengah yang banyak, dan Argentina dengan kelas pekerja yang sudah mempunyai kesadaran tinggi. Sehingga sejak tahun 1955 militer  melakukan campur tangan karena ada kekawatiran akan ancaman dari kelas pekerja kepada kelas menengah. Kemudian pemicu kudeta selanjutnya terjadi akibat lemahnya posisi pemerintahan sipil dalam melakukan pengelolaan ekonomi, stabilitas sosial politik dan keamanan. Sehingga militer melakukan tuduhan bahwa pemerintahan sipil telah melakukan tindakan inskonstitusional. Disamping itu penurunan prestasi pemerintahan sipil juga sangat mempengaruhi. Keabsahan ini menjadi penting bagi sebuah pembuktian pemerintahan sipil kepada militer. Contoh kasus yang terjadi misalnya kudeta yang pernah ada di Brazil tahun 1964.
Pada bagian akhir bab tiga ini, Eric menguraikan tentang perencanaan dan pelaksanaan kudeta. Disana diuraikan  meskipun militer ketika dalam kondisi politik sedang tidak stabil atau “tepat” mereka dapat melakukan aksi kudeta yang terlihat sangat mudah. Meskipun kadangkala dalam melakukan kudeta menemui masalah-masalah besar, seperti kudeta di Mesir 1952. Kudeta bisa berlangsung dengan baik tapi tidak mudah. Yang menjadi catatan disini ialah, militer tidak mungkin melakukan kudeta terhadap pemerintahaan sipil yang sah. Ada tiga faktor sebagai keberhasilan sebuah kudeta. Pertama, keterlibatan aktif perwira menengah yang menduduki pos-pos strategis. Kedua, anggota komplotan harus mempunyai pasukan yang memadahi untuk menakhlukkan penentang utama kudeta itu, termasuk beberapa lokasi dan bangunan penting tertentu. Ketiga, ketepatan koordinasi dalam melaksanakan kudeta, hal ini menjadi faktor yang sangat penting.
Bab keempat di buku ini membahas tentang bentuk-bentuk pemerintahan yang di pegang oleh militer. Tiga bentuk itu ialah pemerintahan dengan mayoritas menteri dipegang oleh perwira, campuran antara militer dan sipil, dan pemerintahan dengan suatu majelis yang sepenuhnya militer bersama-sama kabinet campuran. Melalui dua indikator yakni peluang keterlibatan elite dan non elite serta dalam hal pengawasan dan indoktrinasi politik, sebuah rejim militer hasil kudeta terdiri dari rejim demokrastis, mobilisasi dan rejim otoritarian. Disana dijelaskan mengenai gaya pemerintah pretorian. Dari beberapa analisa yang dialakukan, dapat digamabarkan bahwa gaya pemerintahan militer tidak jauh dari latar belakang militer itu sendiri. Militer yang anti terhadap politik dan sebagainya.Nilai-nilai yang terdapat dalam militer dalam perang, ternyata tidak bisa digunakan dalam pemerintahan. Pada bab ini lebih banyak dibahas mengenai rejim militer setelah melakukan kudeta. Dari generalisasi yang dilakukan Eric, rejim pemerintahan setelah aksi kudeta biasanya mengalami ketidakstabilan. Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan itu baik dari sipil, eite-elite bahkan dari kalangan perwira militer lain.
Pada bab kelima ini sebenarnya telah ada pembahasan-pembahasan bab sebelumunya yakni bagaimana militer melakukan campurtangan pemerintahan sipil dengan memakai alasan ekonomi sebagai pemicu terjadinya kudeta. Disamping itu Eric membahas tentang permasalahan kesukuan atau etnis yang  seringkali menyebabkan perpecahan dan konflik, nah disinilah militer ambil bagian. Upaya militer dalam melakukan “pengamanan” melalui kudeta, setelah itu mereka berada dalam tampuk kekuasaan. Sikap anpolitik atau anti politik yang memebentuk gaya pemerintahan militer yang otoritarian dan sentralistik sangat berpengaruh pada bentuk-bentuk paradigma dan penyelesaian sebuah permasalahan dalam hal ini apabila terjadi konflik. Prinsip integrasi nasional menjadi sangat penting dalam konteks negara bangsa yang majemuk, dan dibab ini Eric memberikan contoh negara yang mengalami disintegrasi nasional dan peran militer disana. Disamping permasalahan integrasi nasional permasalahan juga berada pada pertumbuhan ekonomi. Karena dalam dua hal ini perwira militer biasanya ikut mengurusi.
Bab terakhir dari buku ini ibarat melakukan review dan penegasan kembali tentang kajian di buku ini yakni “pretorianisme”, kemudian militer pasca melakukan kudeta atau pengambilalihan pemerintahan sipil terkait dengan peninggalan-peninggalannya dan juga militer setelah kembali ke barak (markas). Dalam bab terakhir ini Eric sebenarnya memberikan pengamatan tentang bagaimana ketika militer sudah melakukan kudeta. Alasan-alasan yang dibangun militer ketika akan melakukan campur tangan (kudeta) seperti meningkatkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, memberikan keabsahan dalam pemerintahan, melakukan pemerintahan yang anti kekerasan dan represif (pengamanan) dan sebagainya, pada kenyataannya alasan-alasan tersebut tidak terbukti ketika sudah berhasil memperoleh kekuasaan. Justru ada kecenderungan untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Mengenai sistem pemerintahan atau rejim setelah militer berkuasa biasanya model pemerintahan terbuka. Hal ini agar kalangan menengah dan bawah bisa melangsungkan partisipasi mereka secara lebih luas. Dan biasanya militer lebih banyak memerankan sebagai model moderator. Terakhir, faktor yang menjadi kunci dalam mempertahankan pemerintahan dari militer pasca kudeta terletak pada bagaimana pemerintahan tersebut belajar dari yang lalu.

Kelebihan dan Kekurangan Buku
          Sangat menarik ketika membaca buku ini. Meskipun pada bab pendahuluan sudah disampaikan bahwa buku ini merupakan sebuah teori-teori akan tetapi Eric A Nordlinger mengemasnya dengan baik. Tidak seperti buku teori pada umumnya, buku ini menyajikan fakta-fakta yang menarik dan analisa yang komprehensif, sehingga buku ini sangat mudah dibaca, dipahami dan dilakukan telaah kembali. buku ini disamping melakukan analisa terhadap  kasus-kasus kudeta yang sudah terjadi di berbagai negara, juga memberikan pandangan lain dari terhadap kudeta yang akan datang. Dengan memberikan teori-teori yang genaral pembaca akan bisa mencermati dan menganalisa sendiri tetang kasus yang telah terjadi tersebut. Di samping itu buku ini punya struktur dalam pembahasannya, dimulai dari pendahuluan, pembahasan kemudian diakhiri dengan sebuah review atau kesimpulan. Hampir-hampir mirip dengan karya akademik. Meskipun demikian kadang terdapat pengulangan di bagian-bagian tertentu, yang bagi kami barangkali itu sebuah penekanan yang diberikan Eric. Kemudian yang patut dicatat dan dipahami secara baik ialah metode yang digunakan Eric dalam melakukan analisa. Dia menggunakan prinsip “General” artinya memberikan gambaran umum atas fakta yang terjadi, sehingga seolah olah fakta-fakta yang disampaikan itu memberikan atu kesimpulan yang sama. Ini yang perlu hati-hati dalam memahami. Bisa jadi sebuah kasus kudeta tidak selamanya sesuai dengan analisanya. Meskipun demikian, sebenarnya Eric membuka luas atas analisa lain yang berbeda dari yang disajikan dalam buku ini. Hal itu sudah disampaikan sejak dari awal. Pastinya ketika membaca buku ini sangat menarik, ialah buku wajib yang harus dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa yang menempuh jurusan sejarah, terutama militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar