IDENTITAS
BUKU
Judul Buku : Militer Dalam Politik : Kudeta
dan Pemerintahan. Judul Asli (Soldiers in Politics)
Penulis : Eric A Nordlinger
Penerjemah : Drs. Sahat Simamora
Penerbit : PT Rineka Cipta
Cetakan : 1990
Tebal : 298 halaman
Review
Eric Nordlinger menulis buku
Militer Dalam Politik ini dengan menggunakan penjelasan yang bersifat
deskriptif dan uraiannya yang bersifat umum, artinya buku ini ditulis menjadi
sebuah teori mengenai militer dan politik dalam hubungannya dengan sebagian
besar kasus-kasus yang terjadi dalam kudeta militer, pemerintahan dan rejim.
Kajian yang digunakan Eric dalam menulis buku ini dengan mengambil pretorian.
Pretorian ialah suatu kondisi dimana tentara tampil sebagai aktor utama yang
sangat dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau mengancam dengan
menggunakan kekuasaan mereka. Istilah ini dipakai dari salah satu kasus kudeta
yang terkenal dari kerajaan Roma (hlm. 5-6). Bahasa mudahnya, pretorian ialah
campur tangan militer dalam politik atau pemerintahan. Sehingga titik tekan
penjelasan di buku ini sebenarnya lebih besar pada prajurit sebagai pemerintah
daripada sebagai motor penggerak kudeta.
Dalam bab pertama, Eric memberikan
penjelasan mengenai campur tangan militer dengan memberikan klasifikasi atau
bentuk pemerintahan sipil. Menurut Eric, terdapat tiga bentuk model penguasaan
sipil yang menonjol, yakni model pemerintahan sipil tradisional, model
pemerintahan sipil liberal, dan model pemerintahan sipil serapan. Namun menurut
dia dari ketiga model itu tidak ada satupun yang dapat dirujuk dan dapat
menjelasakan benar-benar pemerinthan sipil, hal itu dikarenakan kesemuanya
pasti terdapat campur tangan militer. Kemudian di bab yang sama, Eric
menjelaskan tentang tipologi mengenai pretorianisme perwira, yakni sebuah
pembagian berdasarkan tingkat campur tangan militer atau tingkat sejauh mana
militer berkuasa dalam pemerintahan dan keinginan mencapai tujuan di bidang
ekonomi dan politik. Dua indikator tersebut yang digunakan Eric untuk
mengklasifikasi tipologi Pretorian menjadi tiga, yakni tipe moderator, tipe
pengawal dan tipe pemerintah atau penguasa. Paling tidak yang akan disampaikan
Eric dari bab ini ialah bahwa dua rejim militer dan sipil sebenarnya kesemuanya
tidak sepenuhnya dikuasai baik oleh militer ataupun sipil. Merekan tidak
menguasai pemerintahan secara mutlak, karena antara rejim sipil dan militer
akan saling membutuhkan. Dicontohkan misalnya di Syiria dan Thailand kedua negara ini salah dua dari rejim yang pemerintahannya campuran dari sipil dan
militer. Thailand dengan militernya yang sangat berkuasa dan Syria yang
tentaranya telah berkerjasama dengan sipil yakni partai politik haluan
sosialis-nasioanalis. Dibagian akhir dari bab ini, bahwa perbedaan mendasar
antara rejim militer dan sipil ialah rejim militer kekuasaannya diperoleh dari
kudeta sehingga perwira aktif menjadi kunci untuk mempertahankan kekuasaan itu,
meskipun orang sipil juga memiliki peranan.
Di bab kedua buku ini Eric
menguraikan tentang ciri-ciri sosiologi perwira militer yang mempunyai pengaruh
penting bagi pretorian. Eric menggunakan banyak variabel dalam untuk mengetahui
tingkah laku pretorian. Meskipun demikian, Eric tidak bermaksud untuk
menjabarkan pretorian berdasar hanya pada faktor sosiologi. Namun dia akan
mengakaitkan dengan faktor politik sebagai analisa terhadap pretorian secara
lebih mendalam. Menurutnya, perwira militer yang ada sekarang berasal dari golongan
menengah. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap perlindungan militer kepada
golongan kelas menengah dan juga dalam masyarakat tertentu pretorianisme ini
memberi keuntungan besar bagi kelas menegah, kerugian bagi kelas bawah. Eric
berpendapat bahwa militer dari golongan menengah menghasilkan model tentara
modern progresif. Model ini terlihat dari sikap politik dan ekonomi yang
progresif. Bila dibandingkan dengan golongan elite yang jauh lebih unggul di
dalam hal kedudukan politik dan ekonomi hal ini yang seringkali membuat militer
dari golongan menengah kebawah melakukan campur tangan.
Kemudian, terkait dengan identitas kesukuan
yang berbeda dari latar belakang para perwira militer, Eric memberikan model
tentara nasionalis sekuler. Model ini dijelaskan bahwa dengan pengalaman
sosialisasi, materi pendidikan dan latihan militer yang seragam, menghasilkan
pemahaman tentang nasionalis dan kesatuan (korps). Disamping itu pertimbangan
dalam melakukan kenaikan pangkat misalanya, tidak pernah berdasar kesukuan
melainkan kemampuan. Karena apabila terjadi diskriminasi, maka akan merangsang
terjadinya kudeta seperti yang dilakukan mayor-mayor keturunan suku Ibo di
Negeria tahun 1966. Sehingga kecenderungan perpecahan militer akibat kesukuan
berbeda menjadi sedikit.
Sebagai organisasi, sifat dan
ciri-ciri birokratis yang ada di militer juga nampak misalnya struktur yang
hierarkis. Yang menarik ialah meskipun demikian kesetian kepada atasan tidak
langsung berdampak positif kepada bawahan dalam konteks melakukan kudeta. Bisa
jadi antara elite dan menengah kebawah mempunyai pandangan yang berbeda. Di
dalam bab ini juga membahas militer sebagai golongan profesional.
Profesionalitas militer itu dipersiapkan untuk terjun dalam masyarakat,
meskipun dalam prakteknya seringkali mempunyai tafsir yang berbeda. Pendidikan
tentang budaya, masyarakat, sosial dan ekonomi diajarkan guna mendukung
profesionalisme militer. Namun dengan pemahaman normatif serta kepakaran dan
profesionalitas yang mereka punyai hal itu menjadi alasan untuk melakukan campur
tangan atau intervensi terhadap pemerintahan. Tetapi Eric menambahkan, yang
paling penting yang menyangkut peran penting sipil ialah bagaimana sipil tidak
melakukan intervensi juga terhadap ekslusifitas dan otonomi dari militer.
Mengenai sikap politik militer Eric menguraikan bentuk otoriterisme yang akan
diambil militer di dalam pemerintahannya. Hal tersebut dipengaruhi
faktor-faktor yang ditulis diatas.
Pada bab ketiga dari buku ini,
membahs tentang keterlibatan atau campur tangan militer serta kudeta yang
dilakukannya. Eric mencoba menelusuri akar dari kudeta yang dilakukan militer,
mengenai sebab-sebab dan motivasi militer dalam melakukan kudeta terhadap
pemerintahan sipil. Eric berangkat dari alasan militer melakukan kudeta akibat
kegagalan pemerintahan sipil dalam bernegara, penjagaan stabilitas politik dan
ekonomi. Disamping itu, Eric juga mengendus motivasi militer untuk melakukan
kudeta bukan hanya karena kegagalan pemerintahan sipil melainkan juga upaya
melindungi korporat militer. Dengan dalih bahwa martabat nasional, kedaulatan
dan kekuasaan terletak ditangan angkatan senjata, maka kudeta menjadi salah
satu bagian dari tugas militer sebagai abdi negara dalam rangka untuk
kepentingan negara. Disamping itu kekhawatiran tentang posisi militer dalam hal
promosi jabatan dan kekuasaan politik juga dapat memicu aksi kudeta, terlebih
jika terdapat intervensi sipil dalam menentukan kriteria-kriteria tersebut.
Diantara rangkaian kudeta di tahun
1912-1964 terdapat dua pola yang menonjol. Pertama, ketika pemerintahan sipil
akan menurunkan anggaran belanja militer, seperti kudeta yang terjadi di Peru.
Kedua, kebalikan pertama apabila pemerintahan sipil menaikkan anggran belanja,
hal itu juga bisa merangsang terjadinya kudeta seperti yang terjadi di Amerika
Latin, seperti juga Chile tahun 1973 dan beberapa negara non barat lainnya.
Dari sini Eric berpandangan bahwa besar kecilnya anggaran untuk militer akan
menentukan sikap dalam konteks kudeta terhadap pemerintahan sipil. Banyak
diantara kudeta yang terjadi akibat adanya benturan antara keinginan perwira
militer untuk mendapatkan alokasi anggran dengan ketidakmampuan negara
mewujudkan keinginan tersebut.
Disamping mengenai anggaran, hal
yang menjadi perhatian serius bagi militer ialah eksistensi kelas bawah,
apalagi apabila kelas bawah sudah mempunyai kesadaran. Ada kekahwatiran militer
yang dalam hal ini merupakan kelas menengah. Kasus yang terjadi tahun 1935-1964
misalnya Amerika Latin dengan jumlah kelas menengah yang banyak, dan Argentina
dengan kelas pekerja yang sudah mempunyai kesadaran tinggi. Sehingga sejak
tahun 1955 militer melakukan campur
tangan karena ada kekawatiran akan ancaman dari kelas pekerja kepada kelas
menengah. Kemudian pemicu kudeta selanjutnya terjadi akibat lemahnya posisi
pemerintahan sipil dalam melakukan pengelolaan ekonomi, stabilitas sosial
politik dan keamanan. Sehingga militer melakukan tuduhan bahwa pemerintahan
sipil telah melakukan tindakan inskonstitusional. Disamping itu penurunan
prestasi pemerintahan sipil juga sangat mempengaruhi. Keabsahan ini menjadi
penting bagi sebuah pembuktian pemerintahan sipil kepada militer. Contoh kasus
yang terjadi misalnya kudeta yang pernah ada di Brazil tahun 1964.
Pada bagian akhir bab tiga ini,
Eric menguraikan tentang perencanaan dan pelaksanaan kudeta. Disana
diuraikan meskipun militer ketika dalam
kondisi politik sedang tidak stabil atau “tepat” mereka dapat melakukan aksi
kudeta yang terlihat sangat mudah. Meskipun kadangkala dalam melakukan kudeta
menemui masalah-masalah besar, seperti kudeta di Mesir 1952. Kudeta bisa
berlangsung dengan baik tapi tidak mudah. Yang menjadi catatan disini ialah,
militer tidak mungkin melakukan kudeta terhadap pemerintahaan sipil yang sah.
Ada tiga faktor sebagai keberhasilan sebuah kudeta. Pertama, keterlibatan aktif perwira menengah yang menduduki pos-pos
strategis. Kedua, anggota komplotan
harus mempunyai pasukan yang memadahi untuk menakhlukkan penentang utama kudeta
itu, termasuk beberapa lokasi dan bangunan penting tertentu. Ketiga, ketepatan koordinasi dalam
melaksanakan kudeta, hal ini menjadi faktor yang sangat penting.
Bab keempat di buku ini membahas
tentang bentuk-bentuk pemerintahan yang di pegang oleh militer. Tiga bentuk itu
ialah pemerintahan dengan mayoritas menteri dipegang oleh perwira, campuran
antara militer dan sipil, dan pemerintahan dengan suatu majelis yang sepenuhnya
militer bersama-sama kabinet campuran. Melalui dua indikator yakni peluang keterlibatan
elite dan non elite serta dalam hal pengawasan dan indoktrinasi politik, sebuah
rejim militer hasil kudeta terdiri dari rejim demokrastis, mobilisasi dan rejim
otoritarian. Disana dijelaskan mengenai gaya pemerintah pretorian. Dari
beberapa analisa yang dialakukan, dapat digamabarkan bahwa gaya pemerintahan
militer tidak jauh dari latar belakang militer itu sendiri. Militer yang anti
terhadap politik dan sebagainya.Nilai-nilai yang terdapat dalam militer dalam
perang, ternyata tidak bisa digunakan dalam pemerintahan. Pada bab ini lebih
banyak dibahas mengenai rejim militer setelah melakukan kudeta. Dari
generalisasi yang dilakukan Eric, rejim pemerintahan setelah aksi kudeta
biasanya mengalami ketidakstabilan. Banyak faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan
itu baik dari sipil, eite-elite bahkan dari kalangan perwira militer lain.
Pada bab kelima ini sebenarnya
telah ada pembahasan-pembahasan bab sebelumunya yakni bagaimana militer
melakukan campurtangan pemerintahan sipil dengan memakai alasan ekonomi sebagai
pemicu terjadinya kudeta. Disamping itu Eric membahas tentang permasalahan kesukuan
atau etnis yang seringkali menyebabkan
perpecahan dan konflik, nah disinilah militer ambil bagian. Upaya militer dalam
melakukan “pengamanan” melalui kudeta, setelah itu mereka berada dalam tampuk
kekuasaan. Sikap anpolitik atau anti politik yang memebentuk gaya pemerintahan
militer yang otoritarian dan sentralistik sangat berpengaruh pada bentuk-bentuk
paradigma dan penyelesaian sebuah permasalahan dalam hal ini apabila terjadi
konflik. Prinsip integrasi nasional menjadi sangat penting dalam konteks negara
bangsa yang majemuk, dan dibab ini Eric memberikan contoh negara yang mengalami
disintegrasi nasional dan peran militer disana. Disamping permasalahan
integrasi nasional permasalahan juga berada pada pertumbuhan ekonomi. Karena
dalam dua hal ini perwira militer biasanya ikut mengurusi.
Bab terakhir dari buku ini ibarat
melakukan review dan penegasan kembali tentang kajian di buku ini yakni
“pretorianisme”, kemudian militer pasca melakukan kudeta atau pengambilalihan
pemerintahan sipil terkait dengan peninggalan-peninggalannya dan juga militer
setelah kembali ke barak (markas). Dalam bab terakhir ini Eric sebenarnya
memberikan pengamatan tentang bagaimana ketika militer sudah melakukan kudeta.
Alasan-alasan yang dibangun militer ketika akan melakukan campur tangan
(kudeta) seperti meningkatkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, memberikan
keabsahan dalam pemerintahan, melakukan pemerintahan yang anti kekerasan dan
represif (pengamanan) dan sebagainya, pada kenyataannya alasan-alasan tersebut
tidak terbukti ketika sudah berhasil memperoleh kekuasaan. Justru ada
kecenderungan untuk menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Mengenai sistem
pemerintahan atau rejim setelah militer berkuasa biasanya model pemerintahan
terbuka. Hal ini agar kalangan menengah dan bawah bisa melangsungkan
partisipasi mereka secara lebih luas. Dan biasanya militer lebih banyak
memerankan sebagai model moderator. Terakhir, faktor yang menjadi kunci dalam
mempertahankan pemerintahan dari militer pasca kudeta terletak pada bagaimana
pemerintahan tersebut belajar dari yang lalu.
Kelebihan
dan Kekurangan Buku
Sangat
menarik ketika membaca buku ini. Meskipun pada bab pendahuluan sudah
disampaikan bahwa buku ini merupakan sebuah teori-teori akan tetapi Eric A
Nordlinger mengemasnya dengan baik. Tidak seperti buku teori pada umumnya, buku
ini menyajikan fakta-fakta yang menarik dan analisa yang komprehensif, sehingga
buku ini sangat mudah dibaca, dipahami dan dilakukan telaah kembali. buku ini
disamping melakukan analisa terhadap
kasus-kasus kudeta yang sudah terjadi di berbagai negara, juga
memberikan pandangan lain dari terhadap kudeta yang akan datang. Dengan
memberikan teori-teori yang genaral pembaca akan bisa mencermati dan
menganalisa sendiri tetang kasus yang telah terjadi tersebut. Di samping itu
buku ini punya struktur dalam pembahasannya, dimulai dari pendahuluan,
pembahasan kemudian diakhiri dengan sebuah review atau kesimpulan.
Hampir-hampir mirip dengan karya akademik. Meskipun demikian kadang terdapat
pengulangan di bagian-bagian tertentu, yang bagi kami barangkali itu sebuah
penekanan yang diberikan Eric. Kemudian yang patut dicatat dan dipahami secara
baik ialah metode yang digunakan Eric dalam melakukan analisa. Dia menggunakan
prinsip “General” artinya memberikan gambaran umum atas fakta yang terjadi,
sehingga seolah olah fakta-fakta yang disampaikan itu memberikan atu kesimpulan
yang sama. Ini yang perlu hati-hati dalam memahami. Bisa jadi sebuah kasus
kudeta tidak selamanya sesuai dengan analisanya. Meskipun demikian, sebenarnya
Eric membuka luas atas analisa lain yang berbeda dari yang disajikan dalam buku
ini. Hal itu sudah disampaikan sejak dari awal. Pastinya ketika membaca buku
ini sangat menarik, ialah buku wajib yang harus dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa
yang menempuh jurusan sejarah, terutama militer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar