Tulisan ini merupakan hasil dari analisis yang penulis
lakukan terhadap sumber lisan yaitu dengan wawancara dan sumber tulisan dari
surat kabar sejaman. Dengan memadukan sumber lisan dan tulisan harapannya
menambah kualitas dari tulisan yang dihasilkan. Penulis tetap mengambil tema
reformasi 1998 dengan mengambil daerah Solo sebagai pusat pergerakan atau titik
awal pergerakan reformasi secara nasional. Di samping itu tokoh yang penulis
angkat tetap pada mahasiswa sebagai aktor intelektual dari reformasi 1998. Hal
itu dikarenakan antara reformasi 1998 dengan mahasiswa adalah satu paket. Tulisan
ini juga menguraikan tentang kerusuhan yang timbul bukan akibat dari gerakan
mahasiswa.
Reformasi 1998 di Indonesia menjadi babak baru
terselenggaranya sistem demokrasi yang lebih mapan. Pertumpahan darah oleh
rakyat, para aktivis dan penjuang demokrasi dibayar dengan keterbukaan,
kebebasan, demokrasi yang lebih mengedapankan keadilan. Kita masih belum lupa
akan kenangan-kenangan pahit era orde baru tentang belenggu keotoriterian
Soeharto. Tidak bermaksud mengenyampingkan peran para pejuang lain yang
menggulirkan reformasi 1998, mahasiswa ialah kaum yang memiliki peranan vital
dalam terwujudnya perubahan besar dari sistem yang telah ada. Mahasiswa yang
sedang mengalami pertumbuhan secara intelaktual merupakan sosok yang ideal,
belum terkontaminasi oleh politik praktis yang hanya mengejar kekuasaan belaka.
Sebenarnya gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa dimulai
sejak tahun 1997 dimana mahasiswa merespon terhadap kebijakan pemerintah yang
akan bekerjasama dengan IMF dan krisis ekonomi. Inflasi yang terjadi pada waktu
itu hampir mencapai 700%. Tetapi demonstrasi yang dilakukan tidak terlalu
masiv. Baru mulai permulaan tahun 1998 demo-demo mulai dilakukan hanya saja
menurut Taufik, hal itu hanya lah letupan-letupan kecil saja.
Pada Bulan Maret 1998, telah terjadi peristiwa politik yaitu
pengangkatan Soeharto sebagai presiden periode 1998-2003. Ketua MPR Harmoko
pada waktu itu memimpin sidang umum MPR yang dihadiri oleh 923 anggota Majelis.
Harmoko mengemukakan bahwa Soeharto disahkan secara mufakat bulat menjadi
presiden RI dengan masa jabatan 1998-2003. Hal itu bearti bahwa Soeharto
menjadi presiden RI yang ketujuhkalinya setelah Soekarno. Sontak semua anggota
MPR bertepuk tangan ketika ditetapkannya Soeharto menjadi presidenn RI kembali.
Artikel Solo Pos, 11 Maret 1998 dengan judul MPR angkat Pak Harto lagi, disana
digambarkan betapa sanak keluarga sangat bahagia. Salah satunya ialah putri
sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau akrab dipanggil Mbak Tutut. Dia
sangat berterimakasih kepada bangsa Indonesia yang telah memberikan
kepercayaanya kepada ayahnya Soeharto. Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan
respon yang diberikan dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa kecewa terhadap
penetapan Soeharto sebagai presiden. Bagi mahasiswa, soeharto tidak sanggup
untuk memulihkan perekonomian yang telah hancur akibat krisis moneter.
Mulai itulah isue-isue yang menyangkut presiden dihembuskan.
Meskipun pada awalnya isue yang diangkat hanya sebatas respon terhadap krisis
moneter. Menuju bulan Mei isue penurunan Soeharto semakin kuat. Hal itu
dikarenakan pada waktu itu masih berlakunya kebijakan NKK/BKK dimana aktivitas
politik mahasiswa dilarang. Demonstrasi-demonstrasi dilakukan pembatasan. Maka
ketika terjadi demonstrasi besar maka yang dilakukan oleh pemerintah melalui
aparat keamanannya ialah bersikap represif. Hal tersebut yang memicu
terhembusnya isue penurunan Soeharto. Mahasiswa menganggap harus ada
keterbukaan dan demokrasi dalam menjalankan pemerintaan. Segala bentuk
keotoriterian ditolak.
Pada 1998, Solo secara langsung maupun tidak langsung
berkontribusi besar dalam pergerakan Reformasi 1998 di Indonesia. Menurut
Taufik, salah seorang aktivis 98 pada waktu itu Solo dimotori oleh mahasiswa
UNS dan Lampung oleh mahasiswa UNILA merupakan gerakan lokal yang berhasil
mengangkat isue perubahan itu menjadi isue nasional. Keberhasilan itu tidak
lepas dari upaya mahasiswa yang mendapat tentangan dari pemerintah orde baru
saat itu. Dengan aparat keamanannya yaitu TNI dan Polri, pemerintahan orde baru
melakukan kekerasan yang berujung pada bentrok antara mahasiswa dan polisi.
Artikel Solo Pos
pada 21 April 1998 memberikan informasi bahwa sebetulnya bentrok bukan target
dari demonstrasi. Menanggapi peristiwa bentrok yang terjadi di UNS pada waktu
itu, dua orang aktivis SMPR (Solidaritas Masyarakat Peduli Rakyat) Eko Rajito
dan Ulin Niam Yusron mengatakan bahwa bentrokan lebih disebabkan oleh ultimatum
yang disampaikan aparat keamanan. Ultimatum tersebut memicu kemarahan dari para
demonstran yang telah kecewa dengan pemerintahan Indonesia. Aparat keamanan
sering menyalahgunakan senjata untuk menakut-nakuti bahkan sebagai ancaman
kepada para demonstran.
Pada waktu itu mahasiswa UNS melakukan aksi demonstrasi
untuk menyikapi krisis ekonomi yang tidak kunjung diatasi oleh pemerintah.
Sehingga mahasiswa melakukan aksi turun jalan sebagai bentuk protes terhadap
lambannya penanganan krisis ekonomi yang terjadi pada waktu itu. Menurut
aktivis SMPR Ulin, jika terjadi bentrokan hal itu bukan target mereka. Justru
dia beranggapan bahwa bentrok bersifat kontraproduktif. Artinya masyarakat
tidak tertuju pada isue yang dibawa mahasiswa tetapi justru kabur dengan adanya
bentrokan tersebut. Sehingga masyarakat melihat sebelah mata tentang aksi yang
mahasiswa lakukan.
Hal tersebut senada yang disampaikan oleh Taufik, salah
seorang aktivis HMI yang mengatakan bahwa bentrokan terjadi akibat kondisi keostik. Mulai Bulan April ketika
terjadi domonstrasi aparat keamanan pasti membawa senjata pengamanan entah itu
fiber atau yang lain. Dan juga tangki-tangki yang menyimpan gas air mata
dipersiapkan. Hal tersebut dipersiapkan yang seolah-olah aparat keamanan akan
menghadapi musuh. Padahal antara mahasiswa dan aparat keamanan itu sebangsa.
Kesan negatif yang sering disampaikan para demonstran wajar, terbukti setiap
terjadi demonstrasi aparat keamanan menyemprotkan gas air mata kepada para
demonstran.
Di UNS sendiri mahasiswa melakukan aksi demonstrasi yang
terpusat di depan kampus tepatnya di bullevard.
Tempat itu menjadi saksi sejarah bagaimana perjuangan mahasiswa mewujudkan
reformasi. Pada waktu itu hampir setiap sore kondisinya mencekam. Kerena hampir
setiap hari mahasiswa melakukan demostrasi dan hampir setiap demonstrasi
berujung pada keostik. Bentrok yang
terjadi antara mahasiswa dengan aparat keamanan, bahkan jam 10 pagi biasanya
mobil ambulans sudah wira-wiri
membawa para korban bentrok. Pada waktu
itu kondisinya sudah tidak kondusif. Bahkan digambarkan oleh saksi mata,
sampai-sampai paving-paving
berterbangan.
Dari artikel yang
termuat di Solo Pos, 13 Mei 1998 yang
berjudul Luka cukup parah Juanda ngaku
tidak kapok. Didapatkan informasi bahwa bentrok yang terjadi antara
mahasiswa dengan aparat keamanan memang sangat luar biasa. Surat kabar tersebut
menampilkan salah seorang mahasiswa korban bentrok yakni bernama Juanda. Juanda
merupakan aktivis SMPR yang menjadi kekerasan yang dilakukan oleh aparat
keamanan yang mengakibatkan Juanda bonyok-bonyok
dimukanya. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 9 Mei 1998 yang merupakan
Jum’at berdarah yang terjadi di depan kampus UNS.
Akibat dari peristiwa Jum’at berdarah itu Juanda yang
merupakan mahasiswa Fakultas Hukum UNS itu terpakasa diamankan oleh beberapa
aktivis SMPR untuk menghindari kejadian
yang tidak diinginkan. Bahkan Juanda diamankan di luar Solo. Hal tersebut
menandakan bahwa suasana Solo pada waktu itu memang sangat mencekam apalagi
bagi aktivis yang memperjuangkan tuntutan reformasi. Aktivis seolah-olah
menjadi musuh negara yang harus dibasmi. Juanda misalnya dia tercatat sebagai
aktivis SMPR yang hampir 2 bulan melakukan aksi keperihatinan.
Reformasi 1998 dan aksi keprihatinan yang dilakukan
mahasiswa pada waktu itu membawa suatu keprihatinan juga oleh masyarakat. Dari
artikel tersebut diceritakan bahwa Juanda yang menderita memar dan terdapat jahitan
dikepalanya bahkan mengaku tidak kapok. Disini dapat dilihat betapa perjuangan
mahasiswa pada waktu itu sangat besar dengan resiko yang sangat besar pula.
Tetapi masyarakat juga memiliki keperdulian misalnya beberapa warga Perumnas
Palur, ibu-ibu Kampung Pucang Sawit pun menjenguk para korban bentrok. Hal itu
menandakan bahwa masyarakat juga memiliki kesadaran dan keprihatinan sama
dengan mahasiswa.
Bentrokan terus terjadi antara mahasiswa dengan aparat
keamanan. Di Solo sendiri berdiri beberapa lembaga advokasi yang bertujuan
memberikan perlindungan kepada korban tindak aksi kekerasan. Setidaknya pada
waktu itu ada dua lembaga advokasi yakni, Lembaga Bantuan Hukum dan
Pengembangan Masyarakat (LBHPM) Nurani, dan Posko Advokasi Reformasi Solo. Mereka
berdiri atas dasar keperdulian dan pro-reformasi. Mereka juga mengatakan bahwa
aksimasa yang dilakuakan merupakan wujud dari keprihatianan. Sedang cara-cara
represif yang dilakukan aparat justru menambah jumlah korban dan pelanggaran
HAM.
Dilain pihak artikel di Solo
Pos, 13 Mei 1998 menyebutkan mahasiswa Solo dan Jogja, 2 perguruan tinggi
yakni UNS dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta melapor ke Komisi Nasional
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Mereka melaporkan
peristiwa yang terjadi di UNS dan di Gejayan Yogyakarta dimana kekerasan yang
dilakukan oleh aparat bukan hanya ditujukan kepada mahasiswa melainkan
masyarakat umum juga terkena kekerasan itu. Bahkan di Yogyakarta dari laporan
yang disampaikan satu orang warga sipil meninggal dunia akibat kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Taufik bahwa kondisi
keostik mulai terjadi di akhir bulan April dan awal Mei. Setiap melakukan
demonstrasi pasti berujung pada bentrokan. Terjadinya kerusuhan-kerusuhan di
Solo dari hasil wawancara dan sumber tertulis yang dianalisis oleh penulis,
sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan aksi-aksi yang dilakukan
oleh mahasiswa. Hanya saja kerusuhan yang terjadi mengambil momentum sama
dengan aksi yang dilakukan mahasiswa. Terdapat pihak yang sengaja memanfaatkan
momentum itu sebagai pengacau gerakan mahasiswa.
Seperti yang disampaikan oleh dua narasumber saya yakni
Taufik Al Makmun dan Umi Yulianti, mereka adalah aktivis mahasiswa 98 yang
memastikan bahwa kerusuhan yang terjadi bukan dari mahasiswa. Karena pada waktu
itu mahasiswa sedang concern dengan
isue yang mereka bawa. Kalau menurut pendapat Taufik, apabila terjadi
penunggangan aksi hal itu wajar dikarenakan pada waktu itu kondisinya memang
keostik. Hampir semua orang bisa menjadi peserta demonstrasi. Peserta
demonstrasi bukan hanya mahasiswa tetapi masyarakat umum juga.
Disamping itu ada hal yang memperkuat argumentasi tersebut. Pada
waktu itu peristiwa kerusuhan terjadi di daerah Gladag dekat Pasar Gedhe. Dan
juga terjadi di jalan Slamet Riyadi. Padahal gerakan mahasiswa masih terpusat
di kampus-kampus baru mendekati pertengahan bulan Mei menjelang Soeharto mundur
aksi-aksi yang dilakukan mulai keluar dari kampus. Dengan demikian apabila
dikatakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Solo akibat dari gerakan mahasiswa,
hal itu tentu berlawanan dengan yang dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. Baik
secara kronologi waktu maupun tempat yang bertolak belakang.
Artikel yang dimuat Solo
Pos pada 18 Mei 1998 mengatakan sejumlah organisasi bahkan mengecam perusuh
dan tetap akan melakukan aksi keprihatian. Salah satu organisasi yang mengecam
pelaku perusuhan itu ialah SMPR (Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat) UNS.
Mereka mengatakan ada pihak yang menumpang lewat dari aksi keprihatinan yang dilakukan
mahasiswa. Bahkan salah satu presidium SMPR, Ulin Ni’am meyakinkan bahwa
kerusuhan bukan berasal dari mahasiswa. SMPR akan tetap mengadakan aksi
menuntut reformasi dan tidak terpengaruh oleh kerusuhan yang terjadi di Solo pada
waktu itu.
Selain dari SMPR sejumlah organisasi juga melayangkan
kecaman kepada perusuh. Organisasi itu diantaranya, Forum Hati Nurani (Fortini)
Mahasiswa dan Dokter Muda (ko-ass) fakultas kedokteran UNS, Komite Independen
STIE Surakarta, Forum Komunikasi antar Daerah (Forkomanda) Pelajar Islam Indonesia
(PII) Jateng Zona Selatan, Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
(IMM) Pemuda Pancasila (PP) dan Angkatan Muda Muslimin Surakarta (AMMS) serta
sejumlah organisasi lain.
Organisasi itu pada umumnya mengercam aksi yang dilakukan
oleh pihak yang tidak bertanggungjawab yang melakukan pembakaran, perusakan dan
penjarahan fasilitas umum. Mereka menganggap bahwa kerusuhan yang dilakukan itu
merupakan tindakan tidak pro-reformasi. Hanya saja para organisasi tersebut
juga mengecam aparat kemanan yang bersikap represif kepada demonstran.
Disamping itu ada semacam tuntutan atau seruan kepada semua elemen bangsa untuk
bersama-sama memperjuangkan reformasi di segala bidang kehidupan baik sosial,
ekonomi, politik dan hukum. Masyarakat harus bersama-sama mendorong
pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan demokratis.
Menurut SMPR di artikel yang sama mereka mengatakan bahwa
kerusuhan yang terjadi timbul karena kemarahan rakyat. Sembilan presidium SMPR
yakni Ulin, Kelik, Dwi Nugraheni, Hamim Irfan, Restu Hapsari, Aminuddin, Ibnu
Kristiawan, Imron TR, dan Lukman Yudi mengatakan bahwa tuntutan reformasi yang
dilakukan oleh rakyat kepada pemerintah, namun pemerintah melalui aparat keamanannya
menghalau dengan senjata itulah yang sebenarnya menyebabkan terjadinya
kerusuhan-kerusuhan tersebut. Kerusuhan itu bukan hanya terjadi di Solo saja
melainkan juga terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan
Bandung. Organisasi-organisasi tersebut menghimbau agar civitas pendidikan
tidak terprovokasi.
Kerusuhan yang terjadi di Solo harus dilihat dan dimaknai
secara seksama dan dengan kepala dingin. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa
merupakan aksi untuk menuntut adanya perubahan yakni reformasi. Apabila terjadi
kerusuhan, menurut SMPR harus diklasifikasikan menjadi tiga yakni, pertama
kerusuhan yang terjadi selama aksi berlangsung, artinya bentrokan yang terjadi
antara mahasiswa dengan aparat keamanan. Kedua, ketika mahasiswa disemprot gas
air mata oleh aparat keamanan sedang mahasiswa tidak mampu membalas, hal
tersebut juga berpotensi menimbulkan kerusuhan. Dan yang ketiga, ialah
kerusuhan akibat pihak yang “numpang”
momentum.
Ketiga klasifikasi penyebab kerusuhan yang dikemukakan oleh
SMPR tersebut bisa memberikan sebuah gambaran bahwa aksi pada waktu itu banyak
pihak yang terlibat, entah dari kalangan mahasiswa, masyarakat umum ataupun
aparat keamanan. Dari pengakuan yang disampaikan oleh Kapolresta Solo, Letkol
(Pol) Imam Suwangsa yang dimuat oleh Solo
Pos pada 18 Mei 1998, bahwa kerusuhan yang terjadi bukan dilakukan oleh
mahasiswa, tetapi kaum perusuh dan penjarah yang menunggangi aksi mahasiswa.
Bahkan pihak Kapolresta telah mengamankan 114 penjarah yang beraksi selama
kerusuhan pada 14-15 Mei 1998.
Terdapat artikel yang memberikan informasi tentang pelaku
penjarahan pada kerusuhan yang terjadi 14-15 Mei 1998. Artikel di Solo Pos itu berjudul Di balik aksi kerusuhan (1) Menjarah, tak
bisa tidur, lalu dikembalikan. Uraian dari artikel tersebut menceritakan
fenomena yang terjadi pasca kerusuhan yakni beberapa warga di Kampung Pucang
Sawit RT01/04, Jebres Solo yang terpaksa melakukan penjarahan karena
terpengaruh sehingga mereka ikut-ikutan. Darmanto, ketua RT01/04 mengatakan
bahwa beberapa warganya yang menjadi penjarah sampai tidak bisa tidur karena
takut mereka dilaporkan ke pihak yang berwenang karena telah melakukan
penjarahan.
Ketakutan yang mereka rasakan ialah suatu kewajaran.
Mengingat sebagian dari mereka bukan penjarah profesional yaitu hanya
ikut-ikutan. Disamping itu sebelumnya Kapolresta telah mengumumkan bahwa aparat
akan menembak ditempat kepada para perusuh dan penjarah. Barang-barang yang
mereka ambil kemudian diserahkan kepada ketua RT untuk dikembalikan kepada
pemiliknya dengan harapan mereka tidak diperkarakan oleh pemilik barang jarahan
tersebut. Ditempat lain, para pedagang Pusat Pertokoan Benteng Plasa juga telah
mengamankan barang dagangannya. Hal itu mereka lakukan agar barang dagangannya
selamat dari penjarahan.
Kerusuhan yang terjadi pada 14-15 Mei 1998 di Solo, kota
tersebut mengalami kerusakan yang luar biasa. Masyarakat dari berbagai kalangan
merasa prihatin dan menyesalkan atas kejadian pada waktu itu. Mulai dari
pedagang, ibu rumah tangga bahkan mahasiswa sendiri bersikap sama. Mereka berharap
adanya perbaikan, dan tuntutan reformasi segera diwujudkan. Hal senada juga
disampaikan oleh “Spanduk reformasi” yang dipasang oleh DPC PPP Solo. Politisi tersebut
juga mendukung adanya reformasi yang digaungkan oleh mahasiswa.
Pada waku itu pemerintah daerah Solo juga berjanji akan
memperbaiki kerusakan yang terjadi terutama pada fasilitas-fasilitas umum.
Disamping itu untuk tuntutan mahasiswa tentang pergantian pemimpin nasional,
pembersihan negara dari korupsi, kolusi dan nepotisme, mengadakan sidang
istimewa serta penurunan harga kebutuhan pokok, Wali Kota Solo, Imam Soetopo
berjanji akan meneruskannya ke pemerintah pusat. Anti klimaks dari kerusuhan yang
terjadi di Solo dapat dilihat pada artikel 18 Mei 1998 Mahasiswa dan Polresta
bersih-bersih jalan. Artikel tersebut memberikan informasi bahwa mahasiswa dari
UNIBA, Polresta Solo dan Warga saling bahu membahu untuk melakukan pembersihan
pasca terjadi kerusuhan di Solo.
Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan
bahwa gerakan mahasiswa di Solo yang pada awalnya hanya sebatas merespon
terhadap krisis ekonomi yang terjadi 1997, akhirnya sampai pada term
“reformasi” yakni menuntut adanya perubahan di semua level kehidupan ekonomi,
politik dan hukum. Gerakan mahasiswa yang merambah ke masyarakat umum
mengindikasikan bahwa mahasiswa ialah representasi rakyat, hal tersebut
terlihat oleh kesadaran yang dibangun mahasiswa berhasil menciptakan kesadaran
dan kegelisahan kolektif oleh masyarakat secara luas. Meskipun gerakan
mahasiswa ini dikacau dengan adanya peristiwa kerusuhan, mahasiswa tetap
bertahan atas tuntutan mereka yakni, reformasi.